Oleh Dahlan Iskan
SUDAH lama saya tidak bertemu dokter-pemikir Ryu Hasan. Terakhir di Balikpapan. Dalam acara seminar di Institut Teknologi Kalimantan. Atau di Yogyakarta. Saat sama-sama nonton Habib Suci-nya Butet Kartaredjasa –ups…Tabib Suci.
Kemarin malam saya didapuk berdua dengan Ryu Hasan. Yakni dalam seminar Masa Depan Ilmu Pengetahuan. Online. Penyelenggaranya: Paguyuban Mitikondria Indonesia. Ada nama Raymon Kamil di kelompok itu –tidak mau menyekolahkan anaknya karena tidak mau harus ikut salah satu mata pelajaran agama.
Ada Nurseto Adiputranto yang mendalami soal Kapal Nabi Nuh –dan banyak menulis soal ketidakpercayaannya akan peristiwa itu: karena ia menganggap itu tidak sesuai dengan science.
Saya tidak mau membahas masa depan ilmu pengetahuan di Indonesia: apakah punya masa depan. Biarlah dokter Ryu yang bicara itu. Lebih ahli.
Saya hanya menginfokan masa depan science di Tiongkok.
Di sana yang dimaksud ‘masa depan’ sudah terjadi 15 tahun yang lalu. Yakni di periode kedua masa jabatan Presiden Hu Jintao –sebelum digantikan presiden yang sekarang, Xi Jinping.
Saat itulah dilakukan revisi ideologi komunis Tiongkok.
Itu revisi ketiga: ideologi direvisi. Diperbarui.
Revisi pertama dilakukan di zaman Mao Zedong. Yakni agar sokoguru komunis jangan hanya kaum buruh –seperti komunis yang asli. Di Tiongkok harus ditambah petani. Di Tiongkok kaum proletarnya tidak hanya buruh. Justru petani yang terbanyak.
Revisi kedua dilakukan di zaman Presiden Jiang Zemin. Sebagai pelaksanaan doktrin pembaharu Tiongkok, Deng Xiaoping. Di revisi kedua ini sokoguru komunis tidak boleh hanya buruh dan tani. Harus ditambah satu lagi: pengusaha.
Maka, sejak itu diputuskanlah oleh MPR Tiongkok: sokoguru komunis Tiongkok adalah buruh, tani, dan pengusaha.
Itu revisi ideologi gila-gilaan. Itu sudah menyimpang sangat jauh dari ‘tauhid’ komunisme.
Bukankah komunis lahir sebagai wadah perjuangan kaum buruh melawan majikan? Mengapa di Tiongkok, majikan justru dijadikan sokoguru ketiga komunisme.
Maka komunisme Tiongkok itu, kalau di agama, sudah disebut ‘komunis aliran sesat’. Tapi justru yang sesat yang ternyata lebih maju.
Itu pun dianggap belum cukup. Sokoguru komunis Tiongkok masih harus ditambah satu lagi: sokoguru keempat. Maka, 15 tahun lalu, revisi ketiga ideologi dilakukan: pilar keempat itu adalah ilmu pengetahuan.
Empat pilar ideologi itu pun masuk dalam konstitusi negara. Itu menjadi bagian terpenting dalam konstitusi.
Maka dengan empat itu posisi ilmu pengetahuan di Tiongkok sudah dijamin masa depannya –sejak 15 tahun lalu. Konsekuensinya: semua hal yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan tidak boleh jadi program pemerintah.
Andi Setiadi angkat bicara. Ia tidak percaya kemajuan yang diraih Tiongkok akan berkelanjutan. Andi percaya “kebebasanlah” yang bisa jadi sumber berkembangnya ilmu pengetahuan.
Andi alumni FE UI. Ia bekerja di bidang valuta asing dan bursa saham.
“Tiongkok adalah diktator. Tidak ada kebebasan. Karena itu Tiongkok akan runtuh,” kurang lebih begitu pendapatnya.
Saya pun menjelaskan: yang berpendapat seperti itu banyak sekali. Pun beberapa ahli ekonomi di Amerika dan Eropa.
Yang memastikan Tiongkok akan runtuh bahkan menerbitkan buku. Dengan data ekonomi yang rinci. Buku itu sampailah pada kesimpulan: Tiongkok akan runtuh tahun lima tahun setelah buku itu terbit.
Buku itu terbit tahun 2005. Ekonomi Tiongkok lagi hebat sekali. Tapi si ahli menyebutkan: semua kehebatan itu hanya untuk mengejar Olimpiade Beijing. Semua kemampuan dicurahkan ke suksesnya Olimpiade.
Begitu Olimpiade selesai, ekonomi Tiongkok melambat dan dua tahun kemudian runtuh.
Ternyata lima tahun setelah buku itu terbit, Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi ketiga terbesar di dunia. Mengalahkan negara bebas Jerman. Tinggal kalah oleh Jepang dan Amerika.
Lalu ada ramalan lagi Tiongkok akan runtuh tahun 2015.
Setelah tahun itu Tiongkok jadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia. Mengalahkan Jepang. Tinggal kalah dari Amerika.
Tidak hanya dua kali Tiongkok diramalkan runtuh. Ketika dilanda wabah SARS dulu juga diramal akan runtuh. Demikian juga dengan Covid-19.
Lalu saya menantang seminar: mana yang lebih memberikan kebebasan. Tiongkok atau negara demokrasi.
Demokrasi adalah aplikasi dari doktrin kebebasan. Lalu untuk mengaplikasikan demokrasi dilaksanakanlah Pemilu: lima tahun sekali –atau empat, atau enam tahun sekali.
Setiap kali Pemilu, calon pemimpin selalu takut pada para pemilih. Mereka akan cenderung memenuhi emosi pemilih –biar pun emosi itu tidak rasional.
Akibatnya banyak program di negara demokrasi yang tidak rasional.
Di Tiongkok, konstitusinya, ideologinya, telah membebaskan –bukan hanya menjanjikan kebebasan– dari semua hal yang tidak cocok dengan ilmu pengetahuan.
Maka Andi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan juga harus tegas masuk konstitusi kita. Agar science punya masa depan di Indonesia.
Selama ini, katanya, yang sudah masuk konstitusi adalah iman dan takwa.
Tentu terserah anggota DPR/MPR yang baru: hasil Pemilu 2024. Juga terserah presiden terpilih: apakah akan menempatkan ilmu pengetahuan sejajar dengan iman dan takwa, demi masa depan Indonesia.
Saya menyesal menuliskan semua itu hari ini. Apakah bijaksana menulis seperti itu di saat perut lapar karena puasa.
Saya sebenarnya ingin lebih banyak menulis soal Ryu Hasan. Tapi perut lapar bisa jadi mulas karenanya. Kisi-kisinya saja: ia mengatakan manusia itu dengan timun sebenarnya sama saja.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia