Oleh Dahlan Iskan
MEDIA di Tiongkok sibuk juga menggali dari mana asal perdana menteri Singapura yang baru nanti: Lawrence Wong.
Mereka menemukannya: dari pulau Hainan. Bukan dari Ipoh, Malaysia.
Ayah Wong orang desa di Hainan. Tepatnya di sebuah desa sekitar 75 km dari kota besar Haikou. Nama desanya: Bei Shan Chun. Di kecamatan Hui Wen Zhen. Kabupaten Wen Chang.
Dari video yang diunggah media di sana, rumah ayah Lawrence Wong masih ada di desa tersebut. Utuh. Kosong. Satu-satunya rumah kosong di desa itu. Dari video tersebut terlihat suasana pedesaannya. Banyak pohon pinang di sekitarnya.
Dari pulau Hainan sang ayah merantau ke Semenanjung –sekarang Malaysia. Menetap di Ipoh. Saat itu Ipoh makmur karena jadi pusat tambang timah di zaman itu.
Dari Ipoh sang ayah pindah lagi ke Singapura. Wong lahir di Singapura.
Ya sudah. Itu sudah tidak penting lagi. Kalau ayahnya orang Pulau Hainan, Lawrence Wong sudah jadi orang Pulau Singapura.
Kalau pun Wong lahir di Hainan, jabatan tertingginya hanya gubernur. Lahir di Singapura ia bisa jadi perdana menteri –meski Pulau Singapura jauh lebih kecil dari Hainan.
“Peristiwa besar melahirkan tokoh besar”.
Kebesaran Covid telah melahirkan Lawrence Wong. Kita pun –yang bukan warga Singapura– masih terngiang dengan kata-katanya: “kewajiban memakai masker hanya bagi yang sakit”. Artinya: bagi orang sehat tidak harus pakai masker.
Kata-kata itu dipuji karena dianggap sangat logis: yang sakit jangan menularkan penyakit ke yang sehat.
Belakangan ilmu Covid membuktikan bahwa orang yang terlihat sehat pun ternyata mengidap Covid juga. Berarti orang sehat juga bisa menularkan virus jenis itu.
Wong, sebagai penanggung jawab Covid di Singapura berada di simpang jalan. Kalau ia mencabut kata-katanya soal ‘masker hanya untuk yang sakit’ rakyat tidak percaya lagi pada pemimpinnya. Kalau ia tidak cabut kata-kata itu bertentangan dengan fakta ilmiah.
Wong ambil putusan cepat: ‘semua orang wajib pakai masker!’
Tidak takut kehilangan kepercayaan?
Semua pemimpin menghadapi dilema seperti itu. Wong punya prinsip begini: kepercayaan memang akan rusak, tapi kejujuran lebih penting. Kejujuran akan memulihkan kembali kepercayaan itu.
Kalau salah lebih baik mengakui kesalahan itu daripada menyembunyikannya. Apalagi berusaha menutupinya dengan ketidakjujuran yang lain.
Itulah ciri cara berpikir orang modern.
Wong memang dikenal sebagai pejabat yang sangat berorientasi pada data. Dalam hal ini ia mirip Lee Kuan Yew, pendiri Singapura.
Tapi ia lebih luwes dalam keseharian. Wong tidak pernah langsung mengatakan ‘tidak’ pada argumen anak buah. Ia dengarkan dulu. Kalau tidak setuju Wong mendahulukan kata-kata ini: ‘saya memahami alasan Anda…’. Baru di kalimat berikutnya ia mengatakan: “tapi…”.
Tentu Wong sudah mengenal baik Indonesia. Tahun lalu Wong ke Kendal, Jawa Tengah. Wong meninjau kawasan industri di Tegal. Bersama Presiden Jokowi. Itulah kawasan industri milik Singapura.
Rupanya urusan pribadi Wong tidak banyak terungkap ke publik. Hanya perkawinan pertamanya gagal. Cerai. Dengan istrinya yang sekarang pun, seorang banker, juga belum punya anak.
Tapi Wong punya 10 gitar tua. Ia gemar main gitar. Kolektor gitar tua pula.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia