Antre Bonek

Dahlan Iskan antre untuk bisa melihat sidang Donald Trump. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

KALAU harus antre mulai jam 05.00 berarti harus bangun pukul 03.00. Itu Erick bin Lia. Atau bin James F Sundah. Rumahnya jauh dari rumah orang tuanya. Kalau siang bisa satu jam.

Erick harus jemput saya dulu. Jam 04.00 berangkat dari rumah James. Jaraknya satu jam juga ke pengadilan, tempat Presiden Donald Trump disidangkan. Kalau siang.

Sebenarnya James punya rumah satu lagi di New York. Piano dan alat-alat musik di rumah satunya itu. Rumah yang di Queens ini lebih sebagai studio. Juga dekat dengan kantor istrinya.

Saya tidak mau Erick bangun jam 03.00. Saya tahu kebiasaan jam berapa orang Amerika bangun. Tidak terikat harus subuhan.

Erick tidak perlu jemput saya. Saya pilih naik Uber saja. Saya ingat naik Uber atau Grab itu sangat murah. Bertemu di tempat antrean saja. Ia tahu di mana harus antre. Saya diberitahu lokasinya ketika ke pengadilan itu kemarin.

Saya tidak akan lupa lokasinya. Di sebelah taman itu. Di seberang pengadilan. Dekat jejeran mobil-mobil TV.

Sejak Trump disidangkan untuk perkara kriminal uang tutup mulut ke wanita esek-esek, mobil-mobil TV itu seperti parkir permanen di situ. Lengkap dengan antene-antene siaran langsungnya.

Saya hitung jumlahnya: delapan mobil. Kalau pun besok berkurang satu masih mencolok sebagai penanda.

Saya tetap bangun jam 03.00: cari komentar pilihan. Masih jam 3 sore di  Jakarta. Sebenarnya masih terlalu dini dari kebiasaan. Minta maaf pada komentator rebahan yang kirim komentar setelah jam itu. Saya pasti melewatkannya hari itu.

Saya juga harus menulis naskah untuk Disway. Juga terlalu dini dari jadwal biasanya. Tapi apa boleh buat. Terlalu telat kalau menunggu selesainya sidang. Bisa saja saya tulis sambil antre. Tapi siapa tahu antrean pendek.

Saya begitu disiplin menjaga deadline Disway. Di mana pun saya berada. Pun di balik dunia ini, yang sore di  Jakarta subuh di Amerika. Agar setiap jam 04.00 WIB Disway bisa terbit. Maka ketika membaca ada komentar hari itu jam 04.00 belum terbit saya nyaris jadi Prof Pry.

Beres. Jam 04.00 Lia sudah bangun. Saya minta maaf membuat tidurnyi lebih pendek. Dia harus membantu saya membukakan pintu luar apartemen. Lia jadi Bu RT di Queens. Biasa terima pengaduan warga jam berapa saja.

Lia juga yang memesankan Uber sore kemarin. Uber datang tepat waktu: 04.00. Sejenis Alphard. Sopirnya Tionghoa. Saya pun bernihao dengannya. Saya jadi tahu asalnya dari mana di Tiongkok sana. Bagaimana ia menjemput istri dan anak untuk ikut tinggal di Amerika.

Perjalanan Queens – Manhattan lancar. Setengah jam lagi tidak akan seperti itu –yang biasa komuter Depok-Jakarta akan bisa memahaminya.

“Tujuan Anda pengadilan?” kata Si Nihao terheran-heran sambil kembali melihat alamat di pesanan.

“Dui le,” jawab saya. Entah bagaimana kok keyboard HP saya ini berubah: tidak bisa menulis huruf kanji.

Jam 04.45 saya sudah di antrean. Saya hitung sudah ada berapa orang di depan saya: 40 orang.

Perusuh Mirwan Mirza pasti tidak bisa mengoreksi berapa jumlah tepatnya. Saya juga tidak sungguh-sungguh menghitungnya. Ini bukan naskah seminar.

Erick belum tiba. Saya tidak ngecek ia sudah sampai di mana. Ia mengemudikan mobil sendiri. Ia harus cari tempat parkir. “Parkir di dekat pengadilan imigrasi saja,” pesan Lia kemarin. Lalu memberi petunjuk arah-arah masuk ke gedung parkir itu.

Sebenarnya Erick sudah sering parkir di situ –mengantar ibunya sebagai pengacara masalah-masalah imigrasi. Erick juga sudah sering ke situ sendirian. Yakni ketika membantu ibunya di urusan administrasi pengadilan. Tapi Erick tetap mendengarkan pesan ibunya dengan baik. Ia tidak pernah memotong, misalnya, dengan kalimat “saya sudah tahu”.

Yang datang untuk antre terus bertambah. Sebelum jam lima pagi sudah 40 orang lagi di belakang saya. Udara dingin. Ini sudah menjelang musim panas. Kok masih dingin. Padahal kemarinnya agak hangat.

Saya kedinginan di antrean. Apalagi selalu ada angin yang bertiup. Dingin. Dingin. Dingin. Dingin sampai hati.

Saya bukan orang Amerika. Belum terbiasa membaca ramalan cuaca sebelum meninggalkan rumah.

Erick tiba tepat jam 05.00. Langsung gabung ke saya. Yang antre di belakang saya seperti kurang rela. Tapi sangat sopan. Orang Amerika umumnya sangat sopan. Melebihi orang Jawa zaman ini.

“Ia bersama Anda?” tanya wanita lebih setengah baya di belakang saya.

“Iya,” kata saya, “ia tadi cari tempat parkir”.

Lalu kami ngobrol lagi. Juga dengan wanita di depan saya. Mereka antre sambil ngobrol. Ada yang datang dengan suami. Atau teman. Hanya sedikit yang tidak mau ngobrol. Orang Amerika juga suka ngobrol.

Semua tahu: jam 08.00 baru bisa masuk pengadilan –kalau masih ada tempat.

Berarti akan tiga jam lebih di antrean.

Saya sudah pup sebelum mandi tadi. Tapi saya tahu akan punya persoalan berat: buang air kecil.

Apalagi di kedinginan seperti ini. Pasti. Apalagi saya minum air putih banyak setiap pagi: setengah liter ketika bangun. Terbiasa. Lalu menelan obat pertama. Minum lagi. Setelah milih komentar, menelan obat kedua. Minum lagi. Total 1 liter. Dua jam setelah itu pasti harus ada exitnya. Pada jam itu  antrean tidak bisa ditinggalkan.

Tapi saya kan membawa minuman satu botol. Untuk diminum dua jam kemudian. Setelah kosong botol itu bisa jadi toilet kecil. Dalam hal ini wartawan seperti tentara: apa saja bisa. Saya tinggal sedikit menyingkir ke balik pohon.

Botol diselipkan di balik jas. Botol segera penuh kembali. Hanya berubah warnanya. Teknologi tisu basah harus diapresiasi.

Di Amerika tong sampah di mana-mana. Tong terdekat itulah terminal akhir botol cairan kuning muda itu.

Saya sudah sering jadi terminal akhir botol seperti itu. Dulu sekali. Di stadion. Dilemparkan dari tribun. Terutama kalau Persebaya kalah.

Kini Persebaya tetap kalahan. Justru saya yang ganti melemparkan botol seperti itu.

Imajinasi saya: ada Bonek mbeling di dalam tong itu. Bukan Trump.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia