Oleh Dahlan Iskan
INILAH sutradara yang paling sulit dilacak siapa ia/dia. Pantas kalau disebut dengan gelar Sutradara Agung.
Mencari siapa sutradara politik di balik akal-akalan belakangan ini sama sulitnya dengan mencari siapa Raja Jawa seperti yang dimaksud oleh Bahlil Lahadalia, ketua umum baru DPP Partai Golkar.
Dulu, setiap ada keanehan politik selalu orang menuding LBP. Pasti ia sutradaranya. Itulah duga-duga dengan bumbu kata ‘pasti’. LBP sendiri sering bingung: “saya”?
Saya jadi sibuk mencari siapa sutradara di balik layar sandiwara berjudul ‘Airlangga’, ‘Gempa’, dan ‘UU Pilkada’. Sampai muncul humor politik terbaik tahun ini: sebesar-besar pohon beringin akan tumbang di tangan tukang kayu.
Dalam penelusuran mencari sutradara itu saya justru menemukan siapa orang pertama yang menciptakan humor politik tersebut: Muhammad Qodari.
Anda sudah tahu siapa Qodari: pemilik lembaga survei yang juga analis politik paling cemerlang saat ini. Bahkan ulama seperti Ulil Abshar Abdalla menyebutnya sebagai salah satu pemimpin madzhab politik. Setidaknya Anda tahu dari kekhasan jambangnya.
Saya pun bertanya kepadanya: siapa sutradara agung akal-akalan politik belakangan ini?
Ia tidak segera menjawab.
Saya telusuri ke orang-orang dekat LBP. Mereka bilang justru LBP marah-marah dengan manuver-manuver itu.
Saya juga hubungi orang-orang dekat presiden terpilih. Sama. Bahkan marah besar.
Lalu saya monitor ke orang-orang dekat Mas Gibran. Idem dito. Justru marah dengan keadaan.
Presiden Jokowi sendiri ternyata merasa: dirinyalah yang dihebohkan di medsos dengan sebutan tukang kayu itu. Yakni di acara resmi saat penutupan Munas Golkar 20 Agustus.
Jokowi mengenakan baju kuning lengan panjang di acara itu. Banyak yang menafsirkan itu pertanda-pertanda Jokowi akan bernaung di bawah pohon beringin. Atau, Ia sendiri pohon beringin itu.
Ternyata salah. Juga soal tukang kayu. Jokowi mengatakan soal tukang kayu itu dengan ringan. Seperti tidak marah. Tidak tersinggung. Itu kalau dilihat dari sudut ekspresi wajahnya.
Tentu saya bukan orang yang ahli membaca ekspresi wajah. Terutama wajah orang Jawa –apalagi Solo.
Ekspresi wajah Megawati Soekarnoputri lebih mudah dibaca. Termasuk gerak bibirnyi. Terutama ketika lagi ‘mencep’.
‘Mencep’ adalah gerak bibir yang menunjukkan saat suasana hati seseorang lagi marah bercampur meremehkan dan punya kepercayaan diri untuk melawan. Begitu banyak makna yang cukup diwakili oleh satu gerak bibir.
Tokoh yang ekspresinya juga sulit ditebak adalah –Anda sudah tahu- Presiden Soeharto. Maka, saat itu, lahir para juru tafsir mimik dan ekspresi Presiden Soeharto.
Banyak langkah dan kebijakan orang-orang di sekeliling Pak Harto yang didasarkan pada tafsir itu. Kadang benar. Kadang setengah benar. Kadang salah tapi hasilnya benar. Kadang salah dan hasilnya juga salah.
Maka lahirlah juru-juru tafsir yang tepercaya, setengah tepercaya, dan tidak bisa dipercaya. Klasifikasi itu lahir karena tidak ada di antara mereka yang berani bertanya langsung ke Pak Harto: apa yang sebenarnya diinginkan beliau.
Saya pun menduga-duga: jangan-jangan akal-akalan belakangan ini berasal dari para juru tafsir di sekitar Presiden Jokowi. Atau bukan salah tafsir, tapi memang ada yang sengaja menggunakan nama Jokowi untuk legitimasi manuvernya.
Itulah yang disebut bola liar. Lalu ketahuan.
Terbukti Jokowi, atau anaknya, tidak ada yang duduk di kepengurusan DPP Golkar.
Terbukti koalisi KIM-Plus langsung umumkan Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen sebagai pasangan calon gubernur dan wakil Gubernur Jateng. Bukan Kaesang.
Luthfi adalah mantan kapolda Jateng. Gus Yasin adalah putra kiai besar Rembang, Mbah Moen. Ia adalah wagubnya Ganjar Pranowo selama lima tahun.
Ketua Dewan Pembina Partai Golkar dijabat Gumawang Kartasasmita. Orang lama. Sekjennya dijabat oleh Moh Sarmuji, anggota DPR tiga periode yang mantan ketua Golkar Jatim. Ia arek Suroboyo, tapi alumni niversitas negeri Jember. Ia jadi ketua HMI cabang Jember saat itu. Ia asli Golkar sejak dari angkatan mudanya.
Bendahara umumnya Sari Yuliati. Juga tokoh muda Golkar. Asal Lombok, kelahiran Jakarta, alumni Trisakti.
Saya pun menyerah: saya tidak berhasil menemukan siapa sebenarnya sutradara drama akal-akalan itu. Bahlil sebagai orang Fakfak, Papua, ternyata lebih jago menjadi juru tafsir mimik wajah Jawa.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia