SEORANG guru besar menegur saya di ruang tunggu Bandara Sukarno Hatta. Sama-sama akan ke Aceh. Kemarin.
“Sampai hari ini Disway belum membahas Fufufafa,” ujarnya.
Saya tertegun. Fufufafa.
Begitu banyak guru besar yang ke Aceh. Ada pertemuan Majelis Wali Amanat (MWA) di Aceh. Khusus untuk MWA dari universitas yang sudah berstatus PTNBH –Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Rutin. Tiap tahun. Tempatnya berpindah-pindah. Kebetulan ini mendekati 20 tahun tragedi tsunami Aceh.
Guru besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu benar. Saya ternyata belum pernah menulis soal Fufufafa. Padahal hebohnya luar biasa. Saya malu. Apalagi pertanyaan itu diucapkan di depan begitu banyak guru besar dari berbagai perguruan tinggi ternama di Jawa.
Untung segera boarding.
Di dalam pesawat saya duduk di pojok kelas ekonomi. Posisi saya kejepit dua ibu yang juga akan ke Aceh –atau, rasanya orang asli Aceh. Ini kesempatan baik untuk merenungkan pertanyaan guru besar tadi.
Ups… Kesempatan baik untuk tidur dulu dengan pengantar tidur pertanyaan itu. Sampai tertidur saya belum menemukan jawaban ‘kenapa’.
Ketika posisi pesawat di atas Palembang saya terbangun. Ingat pertanyaan itu lagi. Kenapa. Rasanya memang sudah agak lama saya tidak mau menunggangi arus. Tidak ikut isu yang lagi heboh-heboh di medsos. Terutama sejak medsos lebih seru di seputar politik pemilu dan pilpres.
Saya akan selalu ingat: beberapa perusuh Disway minta saya tidak usah ikut bahas politik. Membosankan. Itu-itu saja. Berisiko. Biarlah itu bagian medsos.
Maka ketika orang heboh gemoy saya menulis ladang minyak di pedalaman Texas. Medsos heboh cawe-cawe, Disway menulis kelenteng di Semarang. Ketika ramai Fufufafa, Disway menulis Agama GPT.
Saya menyadari sepenuhnya medsos sulit dilawan. Pun ketika asumsi yang dipakai di medsos kadang sangat lemah. Sering juga tercium ada agenda politik-kepentingan di baliknya.
Tapi Fufufafa memang penuh persoalan. Ada kebenaran yang harus diungkapkan. Ada agenda politik kepentingan. Bahkan, seperti kata seorang tokoh yang dekat Jokowi-Prabowo, ada yang memanfaatkannya untuk adu domba.
Saya sendiri melihat sebenarnya ini persoalan kejujuran –kalau di politik Amerika Serikat itu penting. Kesalahan begitu besar yang dilakukan oleh Presiden Clinton dimaafkan di sana. Itu hanya karena Clinton jujur mengakui soal hubungannya dengan gadis Lewinsky.
Dari sisi isi, Fufufafa sebenarnya tidak begitu berat –untuk ukuran politik Amerika. Isi Fufufafa menjelekkan Prabowo Subianto dan merendahkan anaknya.
Sebenarnya pemilik akun Fufufafa bisa langsung buka dada: itu memang akun saya. Saat itu umur saya sekian tahun. Suasana saat itu lagi panas: ayah saya lagi bersaing keras untuk jabatan presiden. Wajar kalau saya terpancing membela papa saya.
Lalu minta maaf kepada Prabowo. Secara pribadi. Terbuka. Tinggal Prabowo bagaimana. Memaafkan atau tidak.
Kalau saya jadi Prabowo akan saya maafkan. Anggap saja itu bumbu-bumbu pedas menjelang pemilu. Apalagi, setelah itu, papanya mau menggandeng Prabowo yang dikalahkannya. Dijadikan menteri pertahanan.
Bahkan kelak, di Pilpres awal 2024, papanya mempertaruhkan segala-galanya agar Prabowo jadi presiden. Pun sampai bersitegang dengan partainya sendiri beserta ketua umumnya.
Seandainya saya Prabowo, saya akan menganggap itu keusilan seorang yang baru gede yang terlalu bangga pada ayahnya. Banyak anak belum matang akan seperti itu. Yang penting bagaimana setelahnya.
Selesai. Mestinya.
Tapi tidak selesai. Tidak ada yang mau mengakui siapa pemilik akun Fufufafa. Justru Menkominfo yang menegaskan bahwa itu bukan milik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi.
Ketika didesak siapa pemilik sebenarnya, sang menteri mengatakan masih didalami.
Sang menteri pun mati kutu ketika pertanyaan di balik: masih didalami kok sudah memastikan bukan milik Gibran.
Masalah Fufufafa pun menjadi pupupapa. Lebih rumit. Ada karakter yang kurang baik di perkembangannya.
Yang jelas saya pun lega: akhirnya menulis juga tentang Fufupapa. Tentu tidak memuaskan yang bertanya: kok saya bukan kompor. Saya tidak bisa ikut membuatnya lebih panas.
Ketika selesai menulis naskah ini saya melongok ke luar jendela. Ini jelas bentuk jendela pesawat Garuda. Saya lihat ujung sayapnya. Ini jelas ujung sayap Garuda. Ini bukan pesawat pribadi yang foto jendela dan ujung sayapnya tersebar luas di medsos.
Saya melongok lebih ke bawah. Terlihat Danau Toba dari ketinggian. Agak samar. Berarti 45 menit lagi tiba di Banda Aceh sebagai anggota MWA Universitas Terbuka.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia