Presiden Prabowo Tegaskan Komitmen Indonesia Capai Karbon Netral Sebelum 2050

Pembangkit istrik tenaga batu bara (PLTU). (Foto: Ist)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menyatakan optimisme Indonesia untuk mencapai target karbon netral (net zero) sebelum 2050, sebagai kontribusi dalam mengurangi suhu global, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada Selasa (19/11/2024).

Dalam kesempatan itu, ia mengungkapkan rencana Indonesia untuk menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam waktu 15 tahun ke depan, mengingat melimpahnya sumber daya energi yang dimiliki negara.

Senada dengan pernyataannya di KTT G20, dalam forum APEC CEO Summit di Peru, Prabowo juga menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen mencapai swasembada energi hijau dalam beberapa tahun mendatang, serta menjamin 100 persen pasokan listrik berasal dari energi terbarukan dalam sepuluh tahun ke depan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menganggap pernyataan Presiden Prabowo tentang penghentian operasi PLTU pada 2040 dan pencapaian 100 persen energi terbarukan pada periode yang sama sebagai sinyal positif.

Menurut IESR, langkah ini menunjukkan ambisi Presiden untuk mempercepat transisi energi di Indonesia dan mendukung upaya pembatasan pemanasan global sesuai dengan Persetujuan Paris.

Untuk mewujudkan swasembada energi hijau, IESR menilai perlu adanya kepemimpinan yang tegas dan instruksi jelas kepada para menteri terkait serta PLN untuk menyusun target dan peta jalan yang terperinci, serta kebijakan dan regulasi yang mendukung pencapaian tujuan tersebut.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa menghentikan operasi PLTU batu bara adalah langkah penting dalam transisi energi yang adil. Berdasarkan analisis IESR, untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, Indonesia harus mengurangi kapasitas PLTU batu bara sebesar 11 persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan menghentikan operasi PLTU sepenuhnya pada 2045.

Selain itu, langkah ini juga akan memungkinkan penetrasi energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi listrik pada 2030. Dengan potensi sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia dapat mempercepat transisi energi secara efisien dan dengan biaya yang terjangkau.

Fabby juga menambahkan bahwa untuk mewujudkan rencana ini, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan untuk mengakhiri operasi PLTU, dengan mempertimbangkan skema pendanaan yang tepat dan meminimalkan dampak sosial bagi pekerja yang terdampak.

Dari segi investasi, IESR memperkirakan Indonesia memerlukan dana sekitar USD 1,2 triliun hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan, pembangunan penyimpanan energi, serta jaringan transmisi. Sementara itu, untuk menghentikan operasi PLTU secara dini, pemerintah dapat mengeksplorasi pembiayaan campuran dan karbon kredit.

Studi IESR juga menunjukkan bahwa penghentian dini PLTU batu bara pada 2040 dapat menghindarkan hingga 182.000 kematian dini akibat polusi udara, serta mengurangi beban biaya kesehatan hingga USD 130 miliar. Meski demikian, penghentian dini PLTU akan memerlukan investasi besar dan biaya transisi yang diperkirakan mencapai USD 27,5 miliar pada 2040-2050.

Di sisi lain, Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, menyarankan agar kebijakan iklim Indonesia lebih ambisius untuk mencapai target karbon netral 2050. Berdasarkan evaluasi Climate Action Tracker (CAT), upaya Indonesia saat ini dinilai masih sangat kurang untuk memenuhi target pembatasan pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celsius. Oleh karena itu, Indonesia perlu lebih cepat dalam mengadopsi energi terbarukan dan membuat komitmen tegas untuk menghentikan penggunaan batu bara serta deforestasi.

Sumber: Wartaekonomi
Editor: Agung