Tiga Serangkai

Alwi Hamu saat menggantikan Dahlan Iskan sebagai Ketua SPS Pusat periode 2014-2019. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA di Sanur ketika dapat kabar salah satu dari tiga serangkai itu meninggal dunia: Alwi Hamu. Hari itu, di Sanur, saya selesai melihat-lihat rumah sakit baru yang hampir selesai dibangun.

Di Makassar memang ada istilah ‘tiga serangkai’ yang sangat terkenal: Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, dan Alwi Hamu. Pak JK, wakil presiden dua kali, kini berusia 82 tahun. Aksa Mahmud 80 tahun. Pun Alwi Hamu.

‘Tiga serangkai’ itu adalah aktivis angkatan 66 di Makassar. Jusuf Kalla yang paling senior. Juga paling kaya –ayah pak JK orang kaya lama di sana.

Maka di dalam tiga serangkai itu JK adalah mentor bagi Alwi dan Aksa. Mentor di segala bidang: di pergerakan, politik, bisnis, dan pergaulan.

Mereka adalah tiga serangkai yang terus dalam rangkaian. Di mana ada Pak JK di situ ada Alwi Hamu dan Aksa Mahmud.

Tiga serangkai itu sama-sama kuliah di Universitas Hasanuddin. Jusuf Kalla di fakultas ekonomi: selesai. Aksa dan Alwi di fakultas teknik: drop out. Aksa dan Alwi terlalu aktif di pergerakan mahasiswa.

Seperti juga sang mentor Aksa dan Alwi jadi pengusaha. Usaha mereka tidak hanya di satu bidang. Banyak sekali.

Aksa lebih sukses: kawin dengan adik perempuan Jusuf Kalla. Alwi tidak menjadi bagian keluarga JK, tapi status tiga serangkainya tidak pudar.

Alwi kawin dengan dunia jurnalisme.

Ia menerbitkan koran mahasiswa.

Kalau aktivis di Jakarta menerbitkan Harian Kami (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), di Makassar Alwi menerbitkan Harian Kami Makassar.

Jadilah Alwi wartawan aktivis. Sampai pernah ditahan polisi. Tapi ia tidak pernah mau berhenti demo. Sampai pun ia tidak bisa lulus kuliah.

Harian Kami Jakarta didirikan oleh tokoh aktivis seperti Nono Anwar Makarim, ayahanda mantan Mendikbud Mas Menteri Nadiem Makarim.

Di Makassar oleh Alwi. Di Surabaya oleh Agil Haji Ali.

Koran aktivis mahasiswa serupa juga terbit di Banjarmasin, Yogyakarta, dan Bandung.

Kian tahun perusahaan pak JK terus berkembang. Pun perusahaan milik Aksa Mahmud.

Alwi juga punya banyak perusahaan. Tapi perusahaan korannya mati. Orde Baru sudah mulai stabil. Berita koran yang ‘panas-panas’ sudah kurang laku.

Alwi mencoba menghidupkan korannya dengan nama baru: Harian Fajar. Mati lagi. Tidak hanya mati satu kali tapi tidak mati mati.

Akhirnya Alwi menemui saya di Surabaya. Ia minta agar Fajar bergabung ke grup Jawa Pos yang saya pimpin.

Saya tidak mau. Saya pilih akan membantu manajemennya saja. Agar Fajar tetap jadi koran independen –tanpa harus Jawa Pos punya saham di dalamnya.

Saya bertekad akan didik wartawan Fajar dengan cara magang di Jawa Pos. Demikian juga bagian pemasaran dan bagian iklannya. Mereka pun ke Surabaya.

Setelah satu bulan penuh magang di Jawa Pos mereka pulang ke Makassar. Tanpa perlu modal dari Jawa Pos. Lalu mereka dipinjami kertas sebagai modal kerja. Juga tinta dan plate untuk percetakan.

Dengan pinjaman itu saya yakin mereka bisa hidup lagi. Saya pun menunggu kapan Fajar terbit kembali. Sampai satu bulan kemudian Fajar belum terbit juga.

Tak lama kemudian saya dengar selentingan Alwi datang ke Kompas. Mau gabung ke grup Kompas. Saya tanya kepadanya kebenaran selentingan itu. Alwi membenarkannya.

“Kenapa harus bergabung ke Jawa Pos atau Kompas? Kenapa tidak mau mandiri?” tanya saya.

“Kami melihat masa depan koran di Indonesia hanya dua itu. Lainnya akan mati semua,” jawabnya.

Begitu Alwi menegaskan itu saya pun menjawab: “Ya sudah. Masuk Jawa Pos saja”.

Alwi senang. Sejak saat itu kami, dua pecinta jurnalisme, jadi dua serangkai.

Saya pun ke Makassar. Tinggal satu minggu di sana. Saya bidanilah terbitnya kembali Fajar. Tanpa modal dari Jawa Pos. Setoran modal Jawa Pos adalah tenaga dan pikiran saya.

Selama satu minggu itu saya kerja siang malam bersama para wartawan dan karyawan Fajar. Sore sampai malam saya bekerja bersama wartawan dan redaktur.

Setelah tengah malam saya bekerja dengan orang-orang percetakan.

Setelah subuh saya bekerja bersama karyawan distribusi. Baru tidur setelah pukul 06.00 pagi.

Pukul 09.00 sudah harus bangun. Bekerja bersama orang-orang administrasi.

Begitulah tiap hari. Sampai Fajar terbit kembali. Sampai semuanya berjalan lancar.

Tiap hari pula makannya nasi bungkus. Tidak bisa makan banyak. Toilet kantor itu lebih buruk dari toilet terminal bus masa lalu. Di dalam kamar mandinya harus ada ganjal bata agar kaki tidak terendam air.

Setelah itu saya masih begitu sering ke Makassar. Fajar harus berhasil. Harus jadi yang terbesar di Sulsel.

Alwi tidak ikut pekerjaan seperti itu. Ia serahkan sepenuhnya kepada saya.

Begitu Fajar sukses, saya kian jarang ke Makassar. Sudah waktunya disapih. Apalagi Fajar bisa benar-benar menjadi yang terbesar di sana. Belakangan mampu membangun gedung baru 17 lantai yang sangat megah di pusat kota.

Di gedung itu jenazah Alwi Hamu disemayamkan –sebelum dikubur di pemakaman keluarga Jusuf Kalla tidak jauh dari gedung itu.

Alwi sendiri meninggal dunia di Jakarta Sabtu pagi lalu. Sudah agak lama ia punya rumah di Jakarta.

Ketika Pak JK menjabat wakil presiden Alwi pun melekat di istana. Ia sibuk luar biasa. Saya kian jarang bertemu dengannya.

Lima tahun lalu Alwi Hamu terkena stroke. Keluar masuk rumah sakit. Beberapa kali saya menjenguknya. Sejak masih bisa berjalan, sampai ia sudah harus di kursi roda, pun ketika ia hanya tidur di pembaringan, bahkan saat ia sudah tidak kenal lagi siapa pun yang menjenguknya.

Hamu yang jadi nama belakang namanya adalah singkatan dari nama ayahnya: Haji Muhammad. Dari ayahnya itu Alwi pandai berbisnis. Pandai lobi. Pandai meyakinkan orang. Pekerja keras.

Ia punya kelebihan yang saya tidak punya: pandai menyanyi, main gitar dan membuat humor.

Rangkaian tiga serangkai itu kini lepas satu. Mereka bisa jadi teladan: kekompakan yang sampai dibawa mati.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia