
J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Pagi itu, Jumat (16/5/2025), suasana di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan hanya karena sinar matahari yang menembus kaca-kaca bening rumah sakit elit di bilangan Jakarta Selatan itu, melainkan karena sebuah pertemuan hangat yang penuh hikmah tengah berlangsung.
Dr Amira Anwar, Sp.P., FAPSR, seorang dokter spesialis paru dan pernapasan, menerima tamu istimewa: Dr Aqua Dwipayana, seorang pakar komunikasi dan motivator nasional. Ini bukan kali pertama mereka bertemu. Sudah tiga kali keduanya bertukar pandangan. Namun pagi itu, ada semangat baru yang mengemuka—niat untuk saling belajar dan menginspirasi.
“Saya sangat terkesan dengan cara dr Amira berkomunikasi. Hangat, jelas, dan penuh empati. Saya langsung berniat untuk belajar kepada beliau,” tutur Dr Aqua dengan mata berbinar.
Memang, komunikasi bukan sekadar kemampuan berbicara. Bagi dr Amira, komunikasi adalah jembatan pengertian antara dunia medis yang seringkali dipenuhi istilah rumit dengan dunia pasien yang mencari harapan. “Setiap dokter harus bisa berkomunikasi baik dengan pasiennya. Menjelaskan istilah kedokteran ke dalam bahasa yang mudah dipahami. Dengan begitu, pasien dan keluarganya bisa benar-benar memahami tentang penyakit yang sedang dihadapi,” ujar dokter berhati lembut asal Banda Aceh ini.
Dalam setiap interaksi dengan pasien, dr Amira selalu memulai dengan senyum. Senyum yang tulus, datang dari hati yang bahagia. Tak heran, suasana ruang praktiknya terasa berbeda. Pasien merasa nyaman, tenang, bahkan termotivasi untuk sembuh.
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini meyakini bahwa komunikasi yang baik bisa menjadi bagian dari terapi. “Pasien yang merasa didengarkan dan dipahami, insya Allah akan lebih cepat pulih,” ungkapnya sambil tersenyum.
Dr Aqua pun menambahkan, “Semoga makin banyak dokter yang memiliki kemampuan komunikasi seperti dr Amira. Pasien dan keluarganya akan merasa lebih nyaman dan ini tentu berdampak positif pada proses penyembuhan.”
Ucapan itu disambut dengan kalimat penuh rasa syukur, “Alhamdulillah,” ujar dr Amira lirih.
Pertemuan pagi itu bukan sekadar temu antara dua profesional. Lebih dari itu, ia menjadi pengingat bahwa dalam dunia kesehatan, ilmu pengetahuan harus dibalut dengan empati. Dan seringkali, kata-kata yang tulus bisa menjadi obat pertama yang menyembuhkan.
Editor: Agung

