
Oleh Saibansah Dardani
PEMBAKARAN lahan bukan semata tindakan melanggar hukum. Ia adalah bentuk kekerasan terhadap bumi, tindakan yang merusak ekosistem, serta nilai-nilai moral dan spiritual kita sebagai manusia beriman.
Dalam perspektif hukum positif, jelas bahwa tindakan tersebut melanggar Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diperkuat oleh Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010.
Namun dalam kacamata hukum Islam, praktik membakar lahan demi keuntungan ekonomi, baik oleh korporasi maupun individu, bukan hanya melanggar etika sosial, tetapi juga termasuk dalam kategori jarimah ta’zir atau tindak pidana yang merusak kehidupan bersama.
Fiqh lingkungan dalam Islam meletakkan hubungan antara manusia dan alam dalam bingkai tanggung jawab spiritual. Ketika al-Qur’an menyatakan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah tangan manusia, itu bukan sekadar peringatan ekologis, tetapi teguran teologis.
Setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan, pencemaran, atau kerugian bagi makhluk hidup lainnya, adalah bentuk kemaksiatan yang harus dipertanggungjawabkan. Sayangnya, sistem hukum kita sering tertinggal dalam menakar dan mengadili kejahatan ekologis, karena terjebak pada pendekatan legalistik semata.
Hal itu tegas tercantum dalam Surah Ar-Rum (30) ayat 41 yang berbunyi: “Zhaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aydin-nās, liyuẓīqahum ba‘ḍal-lazī ‘amilū la‘allahum yarji‘ūn.” Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan dalil ke arah yang lebih bermoral. Dengan menetapkan fatwa bahwa pembakaran hutan dan lahan hukumnya haram, MUI tidak hanya menegaskan posisi syariat, tetapi juga menunjukkan bahwa krisis lingkungan adalah krisis akhlak.
Fatwa ini menjadi tonggak penting dalam memperluas spektrum penegakan hukum, dari yang sekadar berbasis norma negara, menuju norma-norma transendental yang bersumber dari agama.
Apa artinya fatwa haram ini dalam praktiknya? Bahwa membakar lahan, membiarkannya terbakar, memfasilitasi, bahkan mengambil keuntungan dari praktik tersebut, adalah perbuatan dosa.
Negara boleh saja memberikan sanksi pidana kepada pelaku, namun masyarakat yang beragama, terutama umat Islam, harus memahami bahwa ini bukan sekadar persoalan melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar perintah Tuhan.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam suatu kesempatan pernah merespons fatwa tersebut, menekankan pentingnya “hukum moral” dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Ini pengakuan jujur yang amat relevan.
Dari pengalaman panjang penanganan karhutla, hukum material dan formal, berupa ancaman pidana atau denda, ternyata belum cukup efektif. Apalagi jika para pelakunya adalah korporasi besar yang dengan mudah menghindar dari jerat hukum lewat celah administratif dan kekuasaan modal.
Di sinilah pentingnya pendekatan fiqh, yang tidak hanya sebagai disiplin keilmuan, melainkan juga sebagai landasan etik untuk membangun kembali kesadaran kolektif tentang keberlanjutan.
Penulis menyampaikan apresiasi tinggi kepada Kapolda Riau, Irjen Pol Herry Heryawan, yang mengutip Surat Al-a’raf dan Al-anbiya — dua dalil utama tentang pengrusakan lingkungan dan jati diri kekhalifahan manusia sebagai penjaga Semesta — dalam orasi ilmiahnya di depan Civitas Akademika UIN Sultan Syarif Qasimiyah baru-baru ini.
Dalam fiqh lingkungan, apa disampaikan Kapolda Herry Heryawan selaras dengan isu pemanfaatan hutan dan lahan yang hanya boleh dilakukan dengan prinsip keadilan, kemaslahatan, dan keberlanjutan. Ketika prinsip-prinsip ini dilanggar, hukumannya bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga ukhrawi.
Kita hidup dalam zaman di mana kerusakan ekologis sudah sampai pada titik nadir. Kabut asap tidak lagi mengenal batas negara. Kebakaran di Riau bisa menyesakkan nafas anak-anak hingga negara tetangga. Tapi lebih dari itu, kabut yang paling pekat sebenarnya adalah kabut keserakahan, kabut penyangkalan terhadap nilai-nilai etik, dan kabut kekosongan spiritualitas dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sudah waktunya kita menegakkan hukum di ruang-ruang sidang, sekaligus di dalam hati nurani. Pembakaran lahan tidak akan pernah berhenti jika pelaku tidak merasa bersalah. Dan rasa bersalah hanya tumbuh jika kita sadar bahwa bumi ini bukan milik kita semata, melainkan amanah dari Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
Maka, fiqh pembakaran lahan bukan sekadar tafsir hukum, tapi juga seruan untuk kembali pada kemuliaan manusia sebagai khalifah di bumi.*
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep, Madura, Jawa Timur, dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) Kepri.

