Oleh Dahlan Iskan
NANTI sore ada debat penting: Debat IKN. Di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Yang menyelenggarakan: Akademi Jakarta. Yakni, sebuah badan yang tugasnya, antara lain, mengangkat pengurus Dewan Kesenian Jakarta.
Rasanya baru sekali ini ada debat ilmiah soal Ibu Kota Nusantara (IKN) yang di Kaltim itu. Yakni, ketika pembangunan IKN sudah begitu jauh.
Kenapa baru sekarang?
“Karena narasi pro-kontra IKN terlalu politik praktis. Jadi, Akademi Jakarta terpanggil untuk menyelenggarakan debat yang ilmiah, berbudaya, demokratis, dan modern,” ujar Bambang Harimurti yang akan jadi moderatornya.
Bambang, mantan pimpinan majalah TEMPO, adalah salah seorang anggota Akademi Jakarta (AJ).
Ketua AJ saat ini adalah seniman Seno Gumira Ajidarma.
Baru sekarang karena merasa narasi pro-kontranya terlalu politik praktis, jadi AJ terpanggil untuk menyelenggarakan yang ilmiah/berbudaya, demokratis, modern.
Yang akan tampil bicara adalah Prof Delik Hudalah (ITB), ahli arsitektur kota metropolitan yang meraih doktor tata ruang di Groningen, Belanda. Penelitiannya fokus pada pengembangan kota baru dan kawasan industri, pengelolaan kawasan pinggiran metropolitan, dan politik megaproyek.
Pembicara berikutnya adalah Elisa Sutanudjaja. Dia direktur Rujak Center for Urban Studies, Jakarta. Lembaga itu fokus di soal hunian yang layak di perkotaan.
Tampil juga Dr Wicaksono Sarosa, direktur Ruang Waktu Knowledge. Ia tampil sebagai pribadi meski pernah ikut menangani perencanaan IKN sejak awal.
Sudah banyak kota baru dibangun di Indonesia. Umumnya berupa kota satelit: kota baru di dekat kota lama. Demikian juga di dunia. Tapi, baru sekali ini Indonesia memutuskan untuk membangun ibu kota baru.
Apa target kesimpulan debat IKN nanti sore itu?
“Tidak harus ada kesimpulan,” kata Seno di pengantar debat yang sudah disebar kepada peminat debat.
Debat tersebut lebih dimaksudkan untuk memperluas kalangan yang ingin ikut bicara soal IKN secara ilmiah dan berbudaya.
Tidak terlihat ada maksud menentang IKN.
“UU IKN No 3 Tahun 2022 sudah lahir. Harus dilaksanakan,” kata pengantar itu.
Memang dibeberkan juga di pengantar tersebut, betapa tergesa-gesanya proyek IKN. Perencanaan dilakukan setelah ada putusan. Demikian juga UU-nya.
Tapi, diakui bahwa pemindahan ibu kota bukan rencana baru. Setiap kali ada masalah besar di Jakarta, selalu muncul niat “sudah seharusnya” ibu kota pindah. Maka, ketika akhirnya Presiden Jokowi benar-benar memutuskan pindah ke IKN, tidak ada yang menentang dari segi substansial.
Bahwa mendesak atau tidak mendesak akan selalu jadi perdebatan. Demikian juga lokasi.
Tanpa pemindahan ibu kota, perimbangan penduduk Jawa-luar Jawa tidak banyak berubah. Di situ disebutkan di tahun 2020, penduduk Jawa 56 persen, luar Jawa 44 persen. Di tahun 2050 kelak bedanya hanya 3 persen: 53 Jawa, 47 luar Jawa.
Memang tidak disebutkan apakah perimbangan penduduk itu berubah drastis saat ibu kota pindah ke IKN.
Bahwa proyek IKN terkait dengan ambisi seorang pemimpin untuk memiliki legasi yang monumental juga dianggap wajar. Itu dimiliki siapa pun. Hanya, IKN ini legasi yang luar biasa. Akan terus masuk buku pelajaran setidaknya 100 tahun ke depan. ”Inilah infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia,” katanya.
Sampai sekarang belum terungkap resmi: mengapa IKN itu singkatan Ibu Kota Nusantara. Bukan Ibu Kota Negara (Indonesia). Apakah Ibu Kota Nusantara sebagai nama kota. Yang kalau ditulis lengkap akan menjadi Ibu Kota Nusantara Negara Republik Indonesia.
Atau itu sebagai strategi khusus untuk secara perlahan-lahan nama Indonesia nanti akan berubah menjadi Nusantara –yang menurut ahli nama lebih membawa hoki.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia