Oleh Dhorifi Zumar
“SEPANDAI pandai tupai melompat akhirnya terpeleset juga” atau “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”, maupun “keselamatan seseorang di dalam menjaga lisannya (salamatul insani fi hifdil lisani)”.
Analogi itu mungkin pas untuk menggambarkan situasi yang saat ini tengah menimpa pegiat media sosial Eko Kuntadhi. Akibat ulahnya sendiri, yang menanggapi secara serampangan sebuah video yang menampilkan Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra (Ning Imaz), seorang ustadzah di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, yang sedang memberikan ceramah tentang tafsir Surat Ali Imron ayat 14. Video tersebut diunggah di akun TikTok NU Online dengan judul thumbnail “Lelaki di Surga Dapat Bidadari, Wanita Dapat Apa?”
Seperti dilansir oleh Republika.co.id, Ning Imaz menjadi bahan olok-olok dan pelecehan seksual ketika videonya tentang ceramah kehidupan di surga ditanggapi Eko Kuntadhi.
Dalam statusnya, Eko mengunggah video berjudul ‘Tolol tingkat kadal. Hidup kok cuma mimpi selangkangan’ dalam video Ning imaz.
Komentar yang bersifat sarkastik itu kemudian mendapat teguran dari akun Nadirsyah Hosen @na_dirs alias Gus Nadir.
“Yang Anda posting itu video Ning Imaz dari Ponpes Lirboyo, istri dari Gus Rifqil Moeslim. Beda pendapat hal biasa. Tapi gak usah melabeli dengan kata tolol. Belajarlah untuk santun dalam perbedaan,” ciut Gus Nadir, Rabu (14/9/2022). Eko pun langsung menghapus status tersebut.
Apesnya, status Eko itu sudah mendapatkan beraneka tanggapan dari follower-nya. Satu diantaranya dari akun @jagalkadrun1312 yang membuat status yang dianggap tidak pantas.
“Semoga anak-anak bangsa ini kagak punya ibu yang kayak gini ya. Ini sudah gangguan jiwa stres tingkat dewa,” kata akun tersebut. Tidak cukup sampai di situ. Akun @justinkanya malah menulis status lebih sadis. “Cocok jadi budak seks ISIS,” ujar akun tersebut.
Mengetahui hal tersebut, suami Ning Imaz, Gus Rifqil Muslim Suyuthi langsung me-mention beberapa akun yang sudah kedapatan mengolok-olok istrinya. Dia ingin bertemu dengan pemilik keempat akun yang sudah melecehkan istrinya.
“Jadi kapan bisa kopdar dengan saya? @justinkanya @Joko_Purwoko @jagalkadrun1312 @_ekokuntadhi,” ucapnya lewat akun Twitter, @rifqilmoeslim.
Tak ayal, ketua pimpinan wilayah GP Ansor DKI Jakarta Muhammad Ainul Yakin al-hafidz pun naik pitan pada Eko Kuntadhi.
“Kami mengecam dan menuntut semua yang terkait untuk meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama yang sangat ekspresif terhadap Eko Kuntadhi,” tegas Ainul Yakin. Menurutnya, perbuatan Eko Kuntadhi telah mencederai niat baik penceramah agama yang telah menyampaikan ajarannya tanpa pamrih.
Giliran Wakil Katib Syuriah PWNU DKI Jakarta Jamaluddin F. Hasyim ikut mengecam Eko Kuntadhi. Ia menilai perilaku para pendengung atau buzzer seperti Eko Kuntadhi sering kali menimbulkan kegaduhan.
“Kami menuntut yang bersangkutan meminta maaf dan tobat dari ucapannya. Bangsa kita pemaaf, namun tetap harus komitmen tidak mengulangi kembali sikap sinis dan nyinyir semacam itu. Perilaku para Buzzer semacam dia (Eko Kuntadhi) memang sering menimbulkan kegaduhan,” kata Hasyim dalam keterangan resminya, seperti dikutip CNN Indonesia, Rabu (14/9/2022).
PWNU DKI meminta pemerintah menertibkan dan membenahi Buzzer yang kerap membuat kegaduhan seperti Eko Kuntadhi. Ia menegaskan anasir pemecah belah seperti yang dilakukan Eko Kuntadhi dan lainnya selama ini harus dianggap serius. Bahkan, menurutnya, Eko harus diproses hukum.
Senator DPD asal Jawa Tengah, Dr Abdul Kholik, juga angkat suara. Menurutnya, penegak hukum harus segera bertindak tegas kepada pihak-pihak yang telah melecehkan pengasuh pesantren Lirboyo tersebut. Sebab, kalau terus dibiarkan, maka akan berulang dan pesantren akan dirugikan.
“Sebelum kasus ini sudah muncul banyak kasus yang mengarah pada usaha mendiskreditkan pesantren, seperti santri yang diangggap calon teroris, hingga kasus kekerasan pesantren. Padahal, dalam hal kekerasan sebenarnya terjadi di banyak lembaga pendidikan lain, seperti kasus kekerasan di IPDN, kasus akademi kelautan, bahkan terakhir kekerasan terjadi kekerasan di tubuh institusi kepolisian. Ini artinya pola umum yang masih terjadi di masyarakat kita,” kata Abdul Kholik, dalam perbincangan dengan Republika.co.id, di Jakarta, Rabu pagi (14/09/2022).
Gara-gara kasus tersebut, Eko pun akhirnya mundur dari posisinya sebagai Ketua Umum Ganjarist. Ganjarist adalah organisasi relawan pendukung Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang.
“Buntut dari cuitan saya yang sempat menciptakan kegaduhan, membuat saya harus mengambil keputusan mundur dari Ketua Umum Ganjarist,” kata Eko dalam keterangan yang diterima Detikcom, Rabu (14/9/2022).
Menurutnya, hubungan Ganjar Pranowo dengan semua jemaah NU sangat dekat. Kedekatan yang sama juga terjalin dengan keluarga besar Pesantren Lirboyo.
Bahkan bisa dikatakan hubungan Ganjar Pranowo dan ayah Gus Rifqil Moeslim, yakni KH Suyuthi Murtadlo, pengasuh Ponpes Manbaul Hikmah, Kaliwungu, sudah seperti keluarga. Ketika Gus Rifqil menikah dengan Ning Imaz, Ganjar mewakili pihak keluarga Kaliwungu, untuk menyambut Keluarga Besar Ponpes Lirboyo.
Keputusan mundur dari Ketum Ganjarist, kata Eko, adalah demi kebaikan bersama. Dia mengatakan akan menyelesaikan masalah dengan Ning Imaz secara baik.
Ironsinya Ganjar Pranowo malah seolah tak mengakui adanya kelompok relawan Ganjarist.
Ganjar mengelak bahwa Eko Kuntadhi adalah bagian dari sukarelawan dirinya, yakni sebagai Ketua Umum Ganjarist. “Saya tidak pernah membentuk sukarelawan,” kata Ganjar seperti dikutip Wartaekonomi.co.id, Jumat (16/9/2022).
Ia meminta kepada kelompok manapun yang memberikan dukungan kepada sosok tertentu agar jangan menyerang pihak lain. “Jangan menyerang individu, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan menyerang lembaga,” ucap Ganjar di Solo.
Tinjau Keberadaan Buzzer
Akibat peristiwa tersebut, tak ayal keberadaan komunitas Buzzer makin tersudut. Selama ini masyarakat sudah memendan rasa geram pada mereka, yang seolah mereka bebas merdeka membuat ulah apa saja tapi tidak tersentuh oleh hukum, ketika ada yang melaporkan mereka kepada aparat penegak hukum.
Angin segar yang selama ini mereka dapatkan seolah berganti dengan angin tornado atau puting beliung yang siap memporak-porandakan zona nyaman (comfort zone) mereka. Pasca kasus dengan Ning Imaz itu, eksistensi mereka semakin mendapat sorotan tajam dari masyarakat yang masih mengagungkan akal sehat dan hati nurani.
Hampir berbarengan dengan kasus yang menimpa Eko, rekan seprofesinya sesama pegiat media sosial, yaitu Denny Siregar dan Heddy Setya Permadi alias Abu Janda juga mendapat tamparan telak dari peretas/hacker Bjorka. Dalam cuitannya, Bjorka menuduh Denny hidup dari uang pajak, tetapi malah menggunakan internet untuk polarisasi.
“Hai @Dennysiregar7. Bagaimana rasanya hidup menggunakan uang pajak dari orang Indonesia tapi malah menggunakan internet untuk mempolarisasi orang?” dalam kicauan di akun Twitter @bjorkanism, seperti dirilis CNN Indonesia (13/9/2022).
Sedangkan kepada Abu Janda, Bjorka juga menilai Abu Janda serupa dengan Denny Siregar yang hidup dari pajak negara. “ah i see, permadi arya is denny siregar’s friend. both of them have been living from Indonesian tax money but using internet to polarize people (ah iya, permadi arya itu teman denny siregar. Keduanya hidup dari pajak negara tetapi menggunakan internet untuk mempolarisasi masyarakat)” tulis Bjorka.
Tak kurang dari tokoh nasional sekaliber Buya Syafi’i Maarif (alm), guru bangsa dan mantan Ketua Umum Persyarikatan Muhammadiyah, juga pernah mengomentari keberadaan para Buzzer ini.
Syafi’i Maarif menyarankan pemerintah dan oposisi sebaiknya membangun budaya politik yang lebih arif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Tidak perlu main buzzer-buzzeran yang bisa menambah panasnya situasi,” kata Buya Syafi’i kepada wartawan di Jakarta, lebih setahun lalu (10/2/2021), seperti dikutip Kompas.com.
YLBHI juga pernah mengeluhkan soal adanya Buzzer dalam setiap kritik yang dilakukan terhadap pemerintah. Meskipun kerap dibantah, Buzzer bukan dari pihak pemerintah. YLBHI mengatakan, sulit untuk menepis Buzzer tidak ada relasi dengan pemerintah.
YLBI lebih lanjut mengkritisi soal keberadaan Buzzer yang kerap kebal dari jerat Undang-undang ITE dalam menyatakan pendapat. Berbeda dengan oposisi atau siapa pun yang melakukan kritik kepada pemerintah di media sosial, tetap akan dikriminalkan meski sudah meminta maaf.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddiqie ikut menyoroti fenomena kegaduhan di ruang publik yang disebabkan oleh Buzzer. Dia mengungkapkan, Buzzer pemuja pemerintah memilih sikap memuja pemerintah. Bukan karena pemerintahannya bagus atau berkinerja karena luar biasa. Mereka memuja hanya karena tidak suka dengan para pembenci pemerintah.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra menilai aktivitas Buzzer yang antikritik di sosial media seharusnya dihentikan. “Ya, saya kira buzzer-buzzer itu ditertibkan-lah, karena kemudian bisa menciptakan situasi yang tidak kondusif dalam masyarakat, bisa menciptakan konflik sosial, konflik horizontal,” kata Azyumardi pada suatu ketika.
Apa yang disampaikan oleh para tokoh nasional tentang Buzzer tersebut memang tak perlu disangsikan lagi kredibilitasnya Demi kondusivitas nasional dan menghilangkan kegaduhan di ruang publik, maka keberadaan para Buzzer memang perlu ditinjau kembali, atau meminjam istilah Azyumardi ‘dihentikan’. Karena keberadaan mereka dalam banyak hal dinilai lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya.
Jangan sampai uang rakyat dalam jumlah besar, malah digunakan untuk membiayai Buzzer. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melaporkan pemerintah pusat pada 2020 lalu mengeluarkan anggaran belanja untuk influencer (buzzer) mencapai Rp90,45 miliar. Para influencer ini dibayar untuk melakukan sosialisasi program-program pemerintah.
Akan lebih bermanfaat kalau uang sebesar itu digunakan untuk program pemberdayaan ekonomi kerakyatan atau memberikan beasiswa bagi putra-putri bangsa dari kalangan ekonomi lemah yang membutuhkan biaya untuk melanjutkan sekolah/kuliahnya.
Last but least, meskipun Ning Imaz dan suaminya, Gus Rifqil telah membukakan pintu maaf kepada Eko Kuntadhi, yang jelas masalah ini tidak bisa berhenti sampai disitu saja.
Peristiwa ini harus menjadi ibroh (pembelajaran) berharga bagi kita semua selaku anak bangsa bahwa ketika berada di ruang publik hendaknya kita lebih berhati-hati dan bijak (wise) dalam memberikan tanggapan atau komentar terhadap segala sesuatu.
Negeri ini menginginkan kedamaian dan ketenangan lagi seperti dulu kala sebelum adanya figur-figur pendengung (Buzzer) tersebut. Kejadian ini mungkin juga warning atau jaweran dari Yang Maha Kuasa bahwa negeri ini kudu segera menghentikan hiruk pikuk polarisasi yang sedikit banyak disulut oleh para pendengung tersebut.
Kalau tidak, peristiwa ini akan jadi semacam sandhyakala ning Buzzer atau detik-detik berakhirnya keberadaan para pendengung di negeri ini. Betulkah demikian?
Wallahu a’lam!*
Penulis adalah pemerhati ekonomi-politik dan aktivis Muhammadiyah, tinggal di Kota Depok