Oleh Dahlan Iskan
Setelah 10 hari berkutat siang malam dengan pekerjaan di Amerika ini, saya buka medsos: senior saya di TEMPO Prof Salim Said meninggal dunia.
Telat sekali tahu.
Yang juga menarik saya: Indonesia mulai difisit perdagangan dan defisit pembayaran. Padahal hampir sepanjang masa jabatan Presiden Jokowi selalu surplus.
Lalu saya merasa aneh. Ada kasus pembunuhan “Vina Cirebon”. Kok viral banget. Ada apa. Saya pun mulai terseret ke viral itu. Tak juga kunjung paham.
Lalu saya hubungi wartawan Radar Cirebon: Ade Gusti. Saya banyak bertanya tentang Vina. Sebagai wartawan ia harusnya tahu banyak.
Ternyata itu pembunuhan tahun 2016. Bahwa kini viral itu karena ada film ‘Vina: Setelah 7 Hari’.
Film baru. Laris. Sudah ditonton 4,5 juta orang. Itu film adaptasi kasus pembunuhan Vina –yang sampai tujuh tahun kemudian belum semua pelaku pembunuhannya tertangkap.
Inilah film kritik sosial yang sangat berhasil. Kalau saja Prof Salim Said masih aktif pasti mengulasnya.
Almarhum adalah tokoh wartawan yang setelah meraih doktor ilmu politik di USA menjadi kritikus film terkemuka, lalu jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan anggota tetap Festival Film Indonesia.
Vina putri seorang ibu yang jadi tenaga kerja di Malaysia. Ayahnyi nelayan. Vina pacaran dengan Eky, remaja putra seorang polisi –bertugas di bagian narkoba Polres Cirebon saat itu. Kini sang ayah menjabat Kapolsek Kapetakan di daerah itu.
Akhir Agustus 2016 itu, tengah malam, kedua remaja ditemukan tergeletak di pinggir jalan tidak jauh dari sepeda motor Mio milik Eky.
Eky sudah dalam keadaan meninggal. Vina dalam keadaan tidak sadar –meninggal sesaat kemudian setelah mereka dibawa ke rumah sakit.
Kesannya seperti terjadi kecelakaan tunggal.
Ternyata itu pembunuhan. Keduanya dikeroyok. Dipukuli dengan kayu dan bambu di di dekat semak sekitar 1,2 km dari lokasi ditemukan.
Kelihatannya korban sengaja dibawa ke pinggir jalan besar, agar dikira kecelakaan.
Tidak ada saksi. Tidak cukup ada barang bukti. Yang ada visum: bekas pukulan di bagian belakang kepala. Lalu ditemukan bekas sperma di kemaluan Vina.
Yang menarik adalah berita koran setelah penemuan dua remaja tergeletak di pinggir jalan itu; Linda, seorang teman Vina, kerasukan roh Vina.
Dalam kicauannyi menyebut bahwa dua remaja itu dibunuh. Oleh dua orang. Bahkan kicauan itu menyebutkan nama-nama yang membunuh. Direkam juga suara kicauan itu. Disebut mirip suara Vina.
Setelah itu terjadilah penangkapan-penangkapan. Yang menangkap ayah Eky sendiri bersama timnya –meski saat itu ia bertugas di bagian narkoba. Salah satu dasarnya: anaknya pernah ada masalah dengan yang ditangkap itu.
Dari pengakuan yang ditangkap delapan orang jadi tersangka –salah satunya berumur 15 tahun. Mereka sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup –kecuali yang 15 tahun itu: 8 tahun penjara. Dua bulan lagi “Si 15 tahun” bebas. Sekarang pun sudah di luar penjara, tapi masih wajib lapor.
Tiga tersangka lain belum ditangkap. Masih DPO. Sudah 7 tahun tetap DPO –sudah seperti dilupakan. Sampailah film itu beredar. Heboh. Satu dari tiga itu ditangkap dua hari lalu di Bandung: jadi kuli bangunan.
Sisa dua buronan.
Yang 7 orang di penjara mungkin akan dapat remisi menjadi 20 tahun. Lalu akan bebas ketika sudah menjalani 15 tahun –ketika umur mereka sekitar 35 tahun. Masih cukup muda untuk kelak melakukan pernikahan.
“Apa motif pembunuhan?” tanya saya pada Ade.
“Asmara remaja”.
Vina diincar oleh Egi. Bertepuk sebelah tangan.
Bahwa sampai terjadi pembunuhan itu karena ada persaingan lain: beda “gang” motor. Satu “gang M” satunya lagi “gang X”. Vina, saat ditemukan, mengenakan jaket beridentitas salah satunya.
Mungkin saja awalnya “hanya” penganiayaan namun korbannya tewas.
Kini perkara ini jadi ruwet karena salah satu yang dipenjara itu mengaku tidak terlibat sama sekali.
Ia tetap tidak mengaku biar pun sudah dipaksa. Ia juga mengaku tidak pernah mau menandatangani berita acara pemeriksaan, namun merasa aneh ketika di pengadilan tanda tangan itu ada.
Mungkin dari sini bisa dimulai penyelidikan baru; apakah tanda tangan itu palsu. Lalu terjadi salah tangkap. Mudah sekali pembuktiannya di zaman modern ini.
Hukuman seumur hidup untuk 7 remaja itu –sekarang mereka sudah pemuda sekitar 27 tahun– sudah punya kekuatan hukum yang pasti.
“Si 15 tahun” yang merasa salah tangkap itu sudah naik banding tapi ditolak. Kasasinya pun ditolak.
Tapi masih ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Titin Prialianti, pengacaranya, harus dilakukan itu. Apa pun hasilnya.
“Jelas perlu ajukan PK,” ujar Karni Ilyas, senior saya lainnya di TEMPO.
Saya hubungi Karni kemarin. Ia adalah wartawan yang menjadi pemicu lahirnya PK. Yakni setelah ia membongkar salah tangkap pada kasus Sengkon dan Karta pada 1997.
Tentu cerita film tidak harus dipercaya. Film adalah fiksi. “Memang fiksi terbaik adalah kalau memasukkan fakta-fakta nyata ke dalamnya. Dari segi itu film ini menjadi fiksi yang berhasil.”
Itu yang mungkin akan dikatakan Prof Salim Said bila mengulasnya.
Terakhir, saya bertemu beliau di Makkah. Sama-sama umroh. Banyak tahun lalu.
Belakangan beliau sangat religius –namanya pun diubah menjadi Salim Haji Said –diambil dari nama almarhum Haji Said, ayahnya, dari Pare-Pare, Sulsel.
Kami pun selalu bersama di Makkah. Saya mengenang masa-masa jadi wartawan magang di TEMPO.
Beliau begitu urakan, khas seniman, bicaranya berapi-api, lucu dan tengil. Rasanya di masa mudanya ia tidak terlalu percaya Tuhan.
Kini tinggal sedikit senior saya para pendiri TEMPO: Gunawan Mohamad masih sehat di usianya yang 84 tahun.
Fikri Jufri sudah selalu di tempat tidur.
Lukman Setiawan sudah lupa siapa saja.
Mungkin masih ada satu wanita ini: Toeti Kakiailatu.
Dan yang masih paling sehat tinggal Pak Haryono Trisnadi, di usia hampir 100 tahunnya.
“Dahlan,” ujar Prof Salim Haji Said di dalam bus di Makkah, “semua teman lama saya, semuuuuaaa, saya doakan satu-persatu di dekat Kabah, kecuali satu”.
Mungkin belakangan ia sudah mendoakannya dalam salatnya menjelang ajalnya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia