Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
WAJAH-wajah baru wakil rakyat sudah masuk Gedung Senayan. Tapi, tunggu dulu. Apakah “baru” di sini benar-benar berarti segar, penuh aspiratif, dan siap bekerja keras untuk rakyat? Sesuai namanya, wakil rakyat, bukan petugas partai!?
Atau ini hanya soal ganti pemain, tapi dengan skrip yang sama, mungkin sedikit lebih licin dan dipoles lebih halus? Ah, harapan kita sering kali terlalu mewah untuk sekadar berharap wakil rakyat yang benar-benar wakil.
Mari kita mulai dengan perpisahan manis para wakil rakyat 2019-2024. Mereka tampaknya sangat puas dengan kinerja mereka. Kenapa tidak? Bukankah mereka bahkan memberi penghargaan kepada diri mereka sendiri?
Mereka menciptakan sebuah pin, bukan dari emas memang, tapi dengan makna simbolis yang menandakan betapa luar biasanya mereka. Iya, betul, penghargaan dari mereka untuk mereka. Ini mungkin inovasi demokrasi terbaru — self-rewarding, karena siapa lagi yang akan tepuk tangan kalau bukan diri sendiri, kan?
Sementara itu, rakyat yang diwakili? Ah, mereka mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, demonstrasi, atau hanya berusaha bertahan hidup di tengah berbagai kebijakan yang, kalau kata anak zaman sekarang, bikin “geleng-geleng kepala”.
Cipta Kerja, misalnya. Ya, undang-undang yang dilahirkan DPR bersama pemerintah di tengah protes keras dari segala teras. Dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, tapi siapa peduli? Itu maunya Presiden Jokowi, yang dilegitimasi DPR.
Bukannya dimasukkan ke kotak, atau setidaknya diperbaiki, malah diberi nyawa kedua melalui peraturan pemerintah, namun DPR diam saja. Ini mungkin salah satu bentuk “resiliensi” politik —undang-undang bisa jatuh, tapi selalu bangkit kembali, layaknya zombie di film horor.
Lalu ada Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN). Ah, Jakarta sudah lelah, katanya, biarkan Kalimantan Timur mengambil-alih sebagai ibu kota baru. Tapi tunggu, mana Keputusan Presiden (Keppres)-nya? Jokowi tampak mencla-mencle. Mau pindah, tapi tidak ada gedung MPR di Kalimantan.
Jadi bagaimana pelantikan presiden dan wakil presiden nanti? Di Jakarta? Eh, tapi Jakarta bukan ibu kota negara lagi, dong? Wah, wah, apa ini berarti kita bersiap melanggar UUD? Sepertinya pindah ibu kota negara ini bukan sekadar urusan paku-palu gedung baru, tapi penuh implikasi konstitusional yang ribet.
Namun, ini semua bukan hanya soal grasah-grusuhnya kerja DPR yang sering mengikuti keinginan presiden. Ini juga tentang masa depan kita. Dengan koalisi gemuk yang mendukung Prabowo Subianto, kita mungkin perlu siap-siap untuk sebuah babak baru.
Tapi tunggu, Prabowo sudah menegaskan, tak ada partai oposisi. PDI Perjuangan betul masih bertahan di luar kekuasaan. Tapi jangan terlalu lama bergembira. Puan Maharani sudah memberi sinyal bahwa banteng bisa saja merapat ke Prabowo. Mega akan bertemu Prabowo di “tempat yang mengasyikkan”. Hmm.
Dan ketika semua partai bersatu dengan penguasa, siapa yang akan mengoreksi pemerintah? Tanpa oposisi yang kuat, demokrasi kita mungkin hanya menjadi sebuah parade. Parlemen, bukannya menjadi tempat debat sengit tentang masa depan bangsa, malah menjadi pematut —mengangguk dengan tenang mengikuti alunan suara penguasa.
Kalau sudah begini, satu-satunya oposisi mungkin datang dari luar parlemen. Dari mana? Dari rakyat yang turun ke jalan, dari kelompok-kelompok masyarakat sipil, atau dari ruang-ruang diskusi di media sosial. Tapi, apakah itu sehat? Apakah demokrasi kita akan tetap hidup kalau semua kekuatan politik berada di satu kubu?
Mari kita refleksikan sebentar. Setiap lima tahun, kita berharap wakil rakyat yang lebih baik, lebih kompeten, dan lebih berpihak pada rakyat. Tapi harapan itu sering kali berakhir pada kekecewaan. Seperti menunggu musim panen yang subur, tapi ternyata hasilnya hanya tanaman layu.
Begitu pula dengan wajah baru DPR kita nanti. Mungkin terlihat segar dari jauh, tapi ketika dilihat lebih dekat, apakah ada perubahan nyata? Atau hanya sekadar ganti kulit tanpa substansi?
Ah, harapan memang selalu mewah, apalagi di negeri di mana wakil rakyat suka memberi penghargaan pada diri sendiri. Self rewarding.
Setidaknya, kita masih bisa tertawa di tengah drama politik yang kian absurd. Karena kalau kita tidak bisa tertawa, kita hanya bisa menangis melihat wajah DPR yang mungkin baru, tapi rasanya seperti menonton episode lama dari sinetron yang sudah kita hafal alur ceritanya.*
Jakarta, 30.09.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995