Oleh Dahlan Iskan
PAK Harto itu hebat luar biasa. Di 10 tahun pertama. Lalu dianggap baik-biasa di 10 tahun kedua. Menjadi kurang baik di 10 tahun ketiga.
Itu bukan pendapat saya. Anda sudah tahu: banyak ahli mengatakan itu.
Presiden Jokowi?
Hebat di periode pertama. Rusak di periode kedua.
Itu juga bukan pendapat saya. Simaklah sendiri podcast Akbar Faisal: Uncensored. Edisi yang menampilkan Dr Yanuar Nugroho.
Akbar sendiri setuju dengan pendapat itu.
Dua orang ini memang terlibat langsung di periode pertama Presiden Jokowi. Lalu Akbar beralih sangat kritis di periode kedua.
Saya tidak tahu sikap Yanuar di periode kedua Presiden Jokowi. Ia tidak lagi di dalam tapi juga tidak kelihatan menyerang. Ia kembali ke dunia kampus.
Baru di podcast Akbar itu saya tahu pendapatnya. Sangat proporsional.
Yanuar mengemukakan juga sisi keberhasilan Jokowi: infrastruktur, dasar-dasar digitalisasi pemerintahan, jaminan sosial, dan satu data Indonesia.
Saya kenal Yanuar saat ia menjabat salah satu deputi di UKP4 di masa pemerintahan Presiden SBY.
Lembaga UKP4 dipimpin Pak Kuntoro Mangkusubroto –meninggal tahun lalu. Itulah lembaga yang memonitor dan menagih para menteri dalam melaksanakan program kerja presiden.
Lembaga itulah yang menjadi dashboard: siapa bertanggung jawab atas program apa. Pelaksanaannya sampai di mana. Dimonitor keras. Setiap tahap dievaluasi.
Kalau ada hambatan, di mana hambatannya. Kalau hambatan itu menyangkut kementerian lain, kementerian dimaksud dipanggil. Diajak rapat bersama. Dikonfrontasi. Dicarikan jalan keluarnya.
Dalam salah satu rapat agendanya sangat berat. Sangat penting untuk masyarakat dan kemajuan ekonomi. Tapi menyangkut sampai perubahan izin.
Tidak ada yang berani ambil risiko. Program terancam gagal. Saya angkat bicara: “Saya saja yang ambil risiko, biar pun saya harus masuk penjara”.
Pak Kuntoro, mantan menteri pertambangan, seorang yang pemberani. Kalau menagih janji sangat keras. Ia tidak sungkan meski yang ia tagih itu seorang menteri yang janji programnya terancam meleset dari jadwal.
Pak Kuntoro didukung para deputi. Semua teknokrat. Muda-muda. Salah satunya Yanuar Nugroho.
Yanuar, saat itu, sebenarnya belum ingin pulang ke Indonesia. Ia masih betah di Manchester, Inggris.
Setelah lulus SMAN 3 Solo, Yanuar melanjutkan ke ITB. Teknik industri. Angkatan 1990.
Di Manchester, Yanuar ambil S-2 Informatika: Information Systems Engineering. Di S-3 ia pilih studi inovasi. Lalu lanjut postdoctoral di bidang knowledge dynamics, sustainability, dan political economy of technological innovations and social change.
Belum tertarik pulang. Yanuar jadi dosen dan peneliti di University of Manchester Business School.
Pak Kuntorolah yang merayunya pulang. Itu tahun 2012.
Ketika pemerintahan berganti ke Presiden Jokowi, UKP4 tidak ada lagi. Diganti KSP –kantor staf presiden, semacam west wing di Gedung Putih Amerika Serikat. Fungsinya kurang lebih sama dengan UKP4.
Anda masih ingat: KSP saat awal itu dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Yanuar ditarik Luhut ke KSP. Hanya dua orang dari UKP4 yang diminta ikut di KSP.
Di periode kedua Presiden Jokowi, Luhut tidak di KSP lagi.
Yanuar melihat KSP mulai semakin politis. Banyak relawan Jokowi dimasukkan ke KSP. Sebagai teknokrat berpikiran bebas Yanuar merasa tidak nyaman lagi.
Yanuar pun mengundurkan diri dari KSP. Alasan resminya: mau kembali ke kampus. Mengajar. Meneliti.
Yanuar pun mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-nya Romo Magnis Suseno.
Ketika Covid-19 akhirnya datang juga ke Indonesia Yanuar diminta membantu pemerintah. Ia ditugaskan di tim monitoring dan evaluasi.
Covid selesai Yanuar ke Singapura, bergabung ke Lee Kuan Yew School of Public Policy.
Setelah itu Yanuar diminta pulang lagi. Membantu Bappenas. Ia mau. Asal tetap boleh berpikir dan berbicara bebas.
Ia lebih merasa menjadi teknokrat bebas politik. Ia bukan pegawai negeri. Di Bappenas ia menjadi koordinator tim ahli. Sampai akhir tahun ini.
Tidak ingin kembali ke Manchester?
“Saya ini ternyata cinta Indonesia,” katanya. Ia merasa sudah terlalu lama di Inggris. Dua anaknya lahir di Manchester. Si sulung kini masuk hubungan internasional Universitas Gadjah Mada. Yang bungsu masih SMA.
Di Manchester sang ayah selalu bicara bahasa Indonesia dengan anak-anak. Sang ibu mengajak mereka selalu berbahasa Jawa.
Yanuar orang Solo. Sang istri orang Pontianak –suku Jawa. Dia lama di Yogya: kuliah kimia di UPN Yogyakarta. Keduanya menikah di keuskupan Pontianak.
Saya menilai kehadiran Yanuar di Akbar Faisal merupakan podcast terbaik tahun ini.
Sulit cari orang independen yang ada di dalam pemerintahan. Tidak ada emosi. Tidak ada sentimentil. Runtut. Gaya dan intonasi bicara Yanuar sangat enak diikuti.
Akbar Faisal telah menjadi host podcast politik yang terbaik. Ia pernah di komisi tiga DPR. Pernah jadi orang penting di tim transisi antara Presiden SBY dan Presiden Jokowi.
Akbar menemukan dunianya di podcast. Topik-topik yang penting ia bawakan dengan menarik.
Podcast menarik biasanya tidak penting. Poscast penting biasanya tidak menarik. Akbar berhasil menggabungkan unsur penting dan menarik.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia