Oleh Saibansah Dardani
SAYA beruntung, karena pernah dididik langsung oleh tiga kyai pengasuh Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep Madura Jawa Timur. Yaitu, KH Muhammad Tidjani Djauhari, MA, KH Muhammad Idris Jauhari dan KH Maktum Jauhari, MA.
Dari ketiganya itu, saya dididik selama 6 tahun oleh KH. Muhammad Idris Jauhari. sejak lulus sekolah dasar sampai tamat TMI (Tarbiyatul Mualimin Al Islamiyah), setingkat sekolah menengah atas. Maka, wajarlah jika secara emosional, saya merasa lebih dekat dengan Kyai Idris. Bahkan, Kyai Idris telah menjadi ayah ideologis saya selamanya.
Baca Profil : KH Muhammad Tidjani Djauhari, MA
Saat kelas empat TMI, saya mulai diajar oleh KH. Muhammad Tidjani Djauhari, MA. Ketika beliau baru saja kembali ke ‘bumi Jauhari’ membawa serta istrinya, Nyai Anisyah Zarkasyi, putri pimpinan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur, serta ketiga anak-anaknya dari Arab Saudi. Saat baru memulai hidup di Al Amien, anak-anak Kyai Tijadi, tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Termasuk, Kyai Ahmad Tidjani yang saat ini menggantikan posisi ayahnya. Bahasa pertama mereka adalah bahasa Arab.
Saya merasakan bagaimana kesabaran Kyai Tijani dalam mengajar. Meski ilmunya tinggi dengan pengalamannya yang luas setelah bekerja di luar negeri, tidak membuatnya menjadi sosok yang keras, apalagi arogan. Kyai Tijadi sangat sabar. Bahkan, selama saya menjadi santrinya, belum pernah saya dimarahinya.
Baca Profil : KH Muhammad Idris Jauhari
Sedangkan pengalaman saya berinteraksi dengan KH. Maktum Jauhari, MA yaitu saat saya sudah duduk di kelas enam. Yaitu, tahun terakhir saya di Pondok Pesantren Al Amien. Kesan kuat betapa cerdas dan luasnya ilmu Kyai Maktum, saya rasakan saat saya menjadi santrinya.
Sama dengan abangnya, Kyai Tidjadi, Kyai Maktum juga sabar dan tidak pernah marah saat saya mengikuti pelajarannya di kelas maupun di luar kelas. Dan sampai saya lulus di tahun 1991, saya melihat sosok Kyai Maktum sebagai kyai yang intelektual dengan wawasan yang luas.
Kini, ketiga kyai saya itu telah pergi. Mereka kini telah berada di sini Allah SWT dengan tenang. Tenang melihat anak-anaknya, para santrinya berhasil melanjutkan kegiatan lembaga pendidikan yang diperjuankannya seumur hidup mereka.
Baca Profil : KH Maktum Jauhari, MA
Memang, perjuangan di jalur pendidikan ini tidak boleh terhenti. Al Amien harus hidup sepanjang masa. Seperti yang kami nyanyikan dalam hymne ‘Oh Pondokku’. Seperti yang pernah disampaikan oleh Kyai Tidjani Djauhari.
“Karena tanda hidup adalah bergerak, tumbuh dan berkembang. Inilah trah dan sunnatul-hayat. Tak bergerak berarti tak tumbuh, dan tak berkembang artinya mati. Manusia seperti ini disebut pasif, statis dan mabni.”
Lalu, siapakah trimurti pimpinan Pondok Pesantren Al Amien yang telah meninggalkan warisan keilmuan, kesolehan, ketawadhu’an dan qona’ah dalam kehidupan itu?*