
Oleh Dahlan Iskan
SAYA tersenyum kecil. Pidato sambutan orang Arab itu diawali dengan sapaan ustaz saat menyebut nama Soedomo Mergonoto dan Indra Budiono –dua pendiri perusahaan kopi Kapal Api.
“Anda disebut ustaz di sini,” bisik saya pada Soedomo yang duduk di jajaran kursi depan di sebelah saya. Saya perlu bisikkan itu karena penerjemah tidak menerjemahkan bagian sapaan di awal pidato.
Pidato orang Arab satunya tidak menyebut Soedomo dan Indra sebagai ustaz. Ia menyebut keduanya dengan sapaan ‘sayyid’.
Di Indonesia sebutan ‘ustaz’ hanya untuk guru agama. Sebutan ‘sayyid’ hanya untuk orang Arab keturunan Nabi Muhammad. Di Arab dua sebutan itu bisa diberikan kepada bos besar sebagai penghormatan.
Semua itu terjadi di acara resmi peresmian pabrik kopi Kapal Api di Jeddah. Disebut Kapal Api Wazaran. Selasa lalu. Itulah pabrik mereka pertama di luar negeri.
Indra adalah kakak Soedomo. Ia kakak yang baik –memercayakan puncak kepemimpinan perusahaan kepada sang adik.
Soedomo-Indra adalah generasi kedua Kapal Api. Kini perusahaan itu dalam proses beralih ke generasi ketiga. Anak-anak Soedomo dan anak-anak Indra mulai tampil di board of director.
Di Kapal Api, generasi pertama adalah sang pendiri: Go Soe Loet. Ayah Soedomo itulah yang memulai usaha kopi –dipikul sendiri jalan kaki ke tempat jualannya di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Jalan kaki sejauh 6 km. Tiap hari. Di Perak, sang ayah menanti kapal merapat ke pelabuhan. Awak kapal adalah sasaran jualan kopinya.
Kelak, di tahun 1927, ketika Pak Go mendirikan pabrik kopi, memberinya merek Kapal Api. Meski disebut pabrik, yang didirikan sang Ayah hanyalah pabrik kecil di atas tanah 70m2.
Pabrik itu berada di Jalan Panggung –pecinannya Surabaya. Sekitar 500 meter dari situ ada Jalan Sasak, sudah masuk perkampungan orang Arab –di kawasan Ampel. Kampung Arab dan Kampung Tionghoa memang bersebelahan di Surabaya.
Di masa kecil Soedomo kalau bermain ya sampai kampung Arab itu. Sampai ke Jalan Sasak.
Di Jalan Sasak itu ada toko sarung. Pemiliknya: keluarga Bawazier –tidak ada hubungan keluarga dengan mantan Menkeu Fuad Bawazier.
Bawazier punya delapan anak. Salah satunya Kholid Bawazier. Seumuran dengan Soedomo.
Setelah sama-sama jadi pengusaha besar Soedomo dan Kholid Bawazier bikin kongsi: mendirikan pabrik Kapal Api Wazaran, di Jeddah ini.
Tentu saya juga kenal Kholid Bawazier. Kholid, anak ketiga pemilik toko sarung di Jalan Sasak, itu pengusaha Arab terbesar di Surabaya saat ini.
Kholid jadi pengusaha atas perintah ibunya. “Kamu tidak usah kuliah. Kasihan bapakmu. Sudah tua. Bantu usaha bapakmu,” begitu kurang lebih pesan sang ibu.
Kholid menurut. Kakak sulungnya jadi dokter: Razak Bawazier. Aktivis. Gila sepak bola –pengurus klub Asyabaab dan Persebaya. Juga pengurus Al Irsyad, perkumpulan warga keturunan Arab.
Kakak Kholid yang lain lulus teknik mesin ITS. Dua adik perempuannya semua dokter gigi. Pokoknya semua sarjana. Hanya Kholid yang tidak kuliah. Ia anak yang mau berkorban demi permintaan ibunya.
“Tidak menyesal kan?” tanya saya kepada Kholid.
“Sama sekali tidak,” jawabnya.
Tentu tidak menyesal. Kini Kholid jadi pengusaha besar. Pabrik Indomie di Arab Saudi adalah miliknya. Masih banyak lagi bisnis besar lainnya –akan saya tulis terpisah.
“Semua itu berkat restu ibu,” ujar Kholid.
Bagi Kapal Api, kerja samanya dengan keluarga Bawazier ini bukan sekadar membangun pabrik. “Ini sekaligus tonggak baru. Ini simbol bagi generasi ketiga Kapal Api,” ujar Christeven Mergonoto dalam pidatonya di Jeddah. ‘Simbol mulai ada keberanian generasi ketiga untuk ambil risiko’.
Steven berusia 34 tahun. Anak Soedomo. Pendidikan Amerika. Bonek sejati. Suka main sepak bola. Selalu mengajak istri dan anak-anak kecilnya ke stadion saat Persebaya bertanding.
Generasi ketiga itu, kata Steven, tidak boleh jadi generasi penakut. “Ketika belum punya uang pun generasi kedua Kapal Api sudah berani ambil risiko melakukan modernisasi pabrik,” ujar Steven memuji orang tuanya di depan acara. “Generasi ketiga juga harus berani ambil risiko,” tambahnya.
Steven mengaku sudah membaca buku-buku tentang perusahaan keluarga. Generasi ketiga, di buku itu, disebut hanya akan membuat perusahaan yang dibesarkan oleh generasi kedua bangkrut.
“Kami generasi ketiga Kapal Api akan ambil risiko untuk menguasai pasar Timur Tengah dan Afrika Utara,” ujar Steven.
“Apakah putusan bikin pabrik di Jeddah ini merupakan putusan generasi ketiga?” tanya saya kepada Steven. Yang ditanya ganti menjawil Robin Setyono, sepupunya. Robin putra Indra Budiono.
“Steven benar. Sudah lebih banyak sebagai keputusan kami generasi ketiga,” ujar Robin.
Robin lahir lebih dulu 11 tahun dari Steven. Robin alumnus Purdue University, Indiana. Ia satu almamater dengan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Hanya Robin di fakultas teknik.
“Pekan lalu kami, beberapa pengusaha, diundang Pak Purbaya untuk membahas soal ekonomi riil,” ujar Robin. “Kami sempat juga bercanda soal suka duka kuliah di Purdue,” tambahnya.
Dengan mendirikan pabrik di Jeddah, Kapal Api memang bisa menjangkau puluhan negara di kawasan itu. Sesama negara Arab sudah punya perjanjian free trade. Pun dengan negara-negara Afrika Utara.
Bebas pajak impor itulah yang akan membuat harga kopi Kapal Api bisa lebih murah. Yang dipasarkan di kawasan itu tetap sama: merek Kapal Api untuk kopi tubruk; Good Day untuk kopi instan.
“Hanya selera di Arab beda. Suka lebih manis,” ujar Soedomo.
Sebelum peresmian pun, ekspor perdana ke Iraq, ke Lebanon, dan ke Syria sudah dilakukan dari Jeddah. “Dari sini kami bisa menjangkau semua negara itu dalam waktu satu minggu,” ujar Steven.
Soedomo terus mendorong agar generasi ketiga lebih berani ambil risiko. “Kapal Api bisa sampai di tahap ini karena keberanian generasi kedua ambil risiko,” ujar ‘ustaz’ Soedomo dalam sambutannya.
“Sampai di sini” yang ia maksud adalah: keberhasilan Kapal Api menguasai 60 persen market share di Indonesia. Kapal Api juga berhasil menjadi perusahaan kopi terbesar ketiga di dunia.
Yang sudah sama antara generasi kedua dan ketiga di Kapal Api adalah –seperti juga di grup Djarum– sikap kepribadian mereka sangat mirip: sederhana dan rendah hati.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia

