Oleh Dahlan Iskan
DARI Changsha saya ke Nanchang. Juga naik kereta cepat. Hanya 1,5 jam. Beda dengan perjalanan saya dulu naik mobil: 10 jam. Sebelum ada jalan tol dan kereta cepat.
Di Nanchang saya ingin menengok tempat saya kursus bahasa Mandarin 20 tahun lalu: Jiangxi Shifan Daxue. IKIP Jiangxi. Ibu kota provinsi Jiangxi ini juga terus berubah.
Dulu, sebelah barat sungai ini hanya sawah. Sekarang sudah jadi kota baru yang penuh gedung tinggi. Dulu hanya ada satu jembatan, kini tiga. Bahkan sudah ada terowongan bawah sungai masing-masing tiga lajur. Jaringan kereta bawah tanahnya juga sudah banyak rute.
Di ujung salah satu jembatan besar itu ada dua patung. Di kanan dan kiri. Patung kucing. Kucing jadi pahlawan baru di sana. Yang di kiri kucing hitam, yang di kanan kucing putih.
Kalau Anda mau menebak untuk apa patung itu, Anda pasti benar: untuk mengenang Deng Xiaoping. Ia adalah pemimpin besar pembangunan ekonomi Tiongkok modern. Yang kalimat mantranya Anda sudah hafal: tidak peduli kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.
Deng memang pernah dibuang di Nanchang. Sejauh 1.600 km di selatan Beijing. Di zaman Revolusi Kebudayaan. Tepat di sekitar Indonesia dilanda G30S/PKI di tahun 1965.
Sebelum itu Deng termasuk pimpinan tertinggi Tiongkok. Salah satu wakil Mao Zedong. Tapi Deng dianggap akan menyelewengkan ajaran Mao.
Deng disingkirkan. Dibuang ke satu bengkel di luar kota Nanchang. Umurnya sudah 68 tahun. Ia tidak diberi staf di bengkel itu. Ia boleh sibuk di bengkel itu, seorang diri.
Zaman Revolusi Kebudayaan itu semua pejabat tinggi sealiran dengan Deng harus dikirim ke desa terpencil. Demikian juga kaum terpelajar dan orang kaya. Mereka harus meninggalkan kota. Dikirim ke sawah. Mencangkul. Menggarap sawah. Buruh tani adalah soko guru Komunisme.
Tapi rakyat kian menderita dengan revolusi itu. Apalagi, sebelum itu rakyat sudah kelaparan akibat kebijakan Mao yang lain: ‘Lompatan Jauh ke Depan’. Bahkan Revolusi Kebudayaan sendiri dianggap hanya untuk menutupi kegagalan Mao di Lompatan ke depan.
Deng dianggap sosok pimpinan tinggi yang diam-diam tidak setuju dengan dua langkah besar Mao itu. Deng harus disingkirkan. Terutama oleh Geng Empat yang sangat dekat dengan Mao. Geng itu dipimpin Jiang Qing, istri Mao. Dia bekas bintang film. Bintang panggung.
Ketika Mao sakit-sakitan dan rakyat kian kelaparan Deng diam-diam dipanggil dari Nanchang. Yang memanggil adalah kelompok elite di luar Geng Empat. Jiang Qing tidak senang. Agar tidak konflik terbuka, Deng tidak diberi jabatan resmi. Hanya saja ia dinobatkan sebagai penyusun konsep ekonomi baru agar Tiongkok keluar dari kehancuran.
Ketika Mao akhirnya meninggal, Jiang Qing ditangkap. Bersama gengnyi. Ditahan. Diadili. Dijatuhi hukuman mati “yang kemudian diubah menjadi seumur hidup. Jiang Qing akhirnya ditemukan meninggal dunia: gantung diri di ruang tahanan.
Deng Xiaoping kian kukuh sebagai pemimpin utama Tiongkok. Tapi tetap tanpa jabatan sebagaimana mestinya.
Saat itu Deng Xiaoping sudah berumur 71 tahun. Suatu saat, di posisi tidak jelas itu, ia memutuskan meninggalkan Beijing. Ke provinsi Anhui. 1.500 km dari Beijing. Untuk mendaki ke gunung Huangshan.
Itulah satu dari lima gunung utama Tiongkok. “Kalau sudah ke Huangshan tidak ada perlunya lagi mendaki empat gunung lainnya”. Itulah kalimat yang terkenal di Tiongkok.
Begitu hebatnya Huangshan. Begitu tinggi daya tariknya. Indah. Atraktif. Di atas gugusan awan. Di Huangshan, Deng bertemu rakyat jelata yang sangat menderita. Miskin papa.
Saat itu di Anhui lagi ada pembangkangan rahasia. Di desa Xiao Gang. Pelakunya sekitar 20 petani. Mereka rapat gelap. Mereka menyepakati untuk membangkang dari doktrin komunisme. Kesepakatan itu mereka tandai dengan cap jempol darah: pilih mati daripada membuka rahasia.
Saya pernah ke desa ini. Ingin tahu cerita dari tangan pertama. Kesepakatan 20 petani itu dilakukan karena terpaksa. Desa itu sangat miskin. Kelaparan. Sistem garapan sawah Komunis tidak memungkinkan menghasilkan tanaman pangan yang cukup untuk makan.
Saat itu petani harus menyerahkan semua hasil panen ke pemerintah. Pemerintahlah yang menjatah makanan ke penduduk. Akibatnya tidak ada petani yang sungguh-sungguh menggarap tanah.
Kelompok rahasia petani di Xiaogang sepakat menggarap sawah sungguh-sungguh. Panennya bagus. Berlebih. Tapi mereka sepakat hanya menyerahkan ke pemerintah sebagian kecil hasil panen. Agar tidak membuat curiga. Selebihnya disimpan sendiri.
Yang seperti itu, kalau ketahuan, bisa dihukum mati. Itulah sebabnya mereka sampai tanda tangan darah. Saat di Anhui Deng Xiaoping mendengar itu.
Pulang ke Beijing Deng mengubah total kebijakan ekonomi Tiongkok. Ia ciptakan istilah kucing hitam dan putih. Para petani di Xiao Gang dijamin keamanan mereka. Bahkan sistem Xiao Gang dikembangkan ke seluruh negeri.
Kini dibangun museum di desa Xiao Gang. Saya ke museum itu. Melihat dokumen yang diberi cap jempol darah.
Mulailah Tiongkok berubah. Sepulang dari Huangshan Deng jadi tokoh sentral. Tiongkok kian makmur. Tapi, yang hebat, Deng tetap tidak menjadi presiden Tiongkok. Tidak pernah pula jadi panglima tertinggi Tentara Pembebasan Rakyat.
Saya juga pernah ke bengkel, tempatnya Deng dibuang di Nanchang. Bengkel itu juga sudah jadi museum pembuangan Deng Xiaoping.
Sampai di museum Deng di Nanchang hasil pemeriksaan kesehatan saya belum juga sampai di HP saya. Maka saya berpikir harus ke mana lagi.
“Kita ke Huangshan saja,” kata saya. “Kan sudah dekat dari sini,” ujar saya ke teman di Nanchang.
“Satu jam dengan kereta cepat,” jawabnya.
“Berangkat,” jawab saya.
“Kita pakai mobil saja. Lebih fleksibel. Di Huangshan bisa ke mana-mana dengan mobil,” kata teman itu.
“Saya ikut saja,” jawab saya.
Teman itu lantas memandangi saya. Seperti tiba-tiba ingat saya sudah berumur 71 tahun. Apakah akan kuat mendaki ke Huangshan yang 2.600 meter. Curam pula.
“Saya sudah latihan naik bukit Pangandaran,” gurau saya atas keraguan itu.
Tentu saya ingat Deng Xiaoping. Yang ketika mendaki Huangshan berumur 71 tahun. Padahal, waktu itu, belum ada cabe car segala.
Untung saya dulu pernah ke Taishan dan Wuyishan. Dua hari lima gunung ternama yang disebut itu.
Dan kali ini, dari Nanchang saya pun ke Huangshan. Berarti tidak perlu lagi ke dua gunung yang lain.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia