Rama Menjemput Kematian

 

Denny JA

Oleh Denny JA

Inikah yang disebut dunia gaib?
Suara itu tak pernah ia dengar.
Keras tapi lembut.
Mendayu tapi menghentak.
Suasana hening.
Teramat sangat.

Terowongan itu panjang.
Sangatlah panjang.

Teramat gelap. Hitam. Pekat.
Ia melihat dirinya kecil sekali dalam terowongan yang besar, besar sekali.

Di ujung terowongan, ada cahaya. Sinar. Juga besar sekali. Terang sekali, tapi tak silau.

Terbangun Rama dari tidur.
Dengan badan yang lemah,
ia duduk, lesu, diam di ranjang.
Pukul 3.00 dini hari.

Ramapun beristighfar di dalam hati: “Astaghfirullah. Mohon ampun ya Allah. Mohon maaf ya Tuhanku.”

Berkali- kali, gambaran ini datang dalam mimpinya.
Rama bertanya dalam hati:
Apakah kematianku sudah sangat dekat?

Ainun istrinya ikut terbangun.
“Mimpi lagi ya pak?” Tanya istri.
Rama diam saja.
Ia tak ingin istri bertambah cemas.

Empat hari lalu,
ditemani istri, Rama ke dokter.
Di momen itu, Rama minta istrinya menunggu di luar.

“Ainun tunggu sebentar ya.
Ada yang ingin bapak bicarakan dengan dokter. Berdua saja.”

Dokter menyatakan:
Rama menderita kanker prostat. Stadium empat.

“Mohon dokter ceritakan segala. Saya harus punya persiapan. Berapa lama lagi hidup saya, dari sisi kedokteran?”

Ujar Rama, “Saya meyakini panjang umur manusia itu urusan Tuhan. Tapi secara ilmu kedokteran saja. Sampai kapan saya bisa bertahan, pak dokter?”

Awalnya dokter enggan menjawab.
Karena didesak, sangat dipaksa, dokter menyebutnya.

“Secara murni ilmu kedokteran, hitungannya sudah menunggu hari saja, pak.“

Rama terdiam.

-000-

Kayu pentungan itu menjadi hiasan dinding.
Bertahun- tahun sudah tepatok di sana, di ruang tamu.

Posisi pentungan itu berdiri.
Di sampingnya, di dinding, tertulis: “Amar makruf Nahi Mungkar.”

Itu seruan agama. Perintah kepada mereka yang saleh.
Tegakkan kebaikan.
Cegah kejahatan.”

Rama sengaja meletakkan pentungan di dinding itu.
Pentungan itu sangat ia banggakan.

Kepada teman.
Kepada keluarga besar.
Kepada tamu.
Rama acap bercerita dengan gagah.

“Ini pentungan yang aku gunakan.
Tak ingat aku.
Sudah berapa banyak tubuh orang Ahmadiyah aku pentung pakai ini.”

“Isi rumah orang – orang ajaran sesat itu, aku hancurkan dengan ini.
Mereka harus tahu resikonya.
Kaum penista agama itu perlu menerima hukuman.”

Rama terbayang.
Saat itu, para penegak kebenaran agama menyerbu.
Di Ketapang,
Di Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur.
Di desa sebelahnya, Montong Tangi. (1)

Rama selalu ikut serta.
Ujarnya bangga: “Agama memanggilku!”

“Hei ajaran sesat,
enyah kalian dari sini.
Keluar dari kampung kami.
Kalian bawa sial.”

Itu kaca jendela, kaca lemari,
pecah semua dengan pentungan Rama.
Yang berani melawan,
badannya kena pentung.
Tangannya kena pentung.

Jika masih melawan lagi, bahkan kepalanya kena pentung.

Seru Rama pada dirinya.

“Pentungan ini perlu diberi kehormatan.
Hei, pentungan. Terima kasih ya. Kau bantu aku tegakkan agama dengan tegas.”

Rama kini duduk di ruang tamu.
Di tatapnya pentungan di dinding itu.

Tapi ini Rama yang berbeda.
Tatapannya juga berbeda.
Ini Rama yang segera menjemput kematian.

Rasa yang dulu bangga, setiap menatap pentungan, kini lari kamana?
Kok kini rasanya hambar belaka?

Berhari- hari,
Rama selalu duduk di situ.
Kadang 30 menit tanpa jeda.
Kadang berjam- jam.
Rama mencari mengapa rasa bangga itu tak lagi muncul?

Ainun istrinya bertanya:
“Ada apa pak?
Kok melihat pentungan itu terus.”

Sore hari itu,
Rama menangis.
Keras sekali.
Segugukan.
Lama sekali.

Ainun kaget.
Rama itu gagah.
Tak pernah menangis,
apalagi seperti ini.

Ainun mencoba mengerti.
Rama sedang sakit.
Parah.
Walau Ainun tak tahu.
Tak diberi tahu soal penyakit Rama yang sebenarnya.

Tak tahu pula Ainun.
Dokter sudah menyatakan itu.
Kematian Rama sudah dekat.

“Aku kangen ibuku, Ainun.
Aku ingin dipeluk Ibuku.”
Keluh Rama sore itu.
Juga sambil menangis.

“Doakan saja ibu pak.
Insha Allah, di akherat, ibu mendengar.”
Ainun memeluk suaminya.

Seraya meningat-ingat,
sudah berapa lama ibu mertua wafat.
Semakin heran pula Ainun.
Belakangan ini suaminya sering menangis.

Akhirnya Rama bercerita.
“Ainun, umur  di tangan Tuhan.
Tapi aku merasa badanku sudah berbeda.
Waktuku segera tiba, Ainun.”

“Bapak,” sanggah Ainun kaget dan takut. “Jangan ngomong begitu.”

“Aku sudah ke dokter, Ainun.”

Ainunpun menangis memeluk suami.
Rama ikut menangis memeluk istri.

Semua ini akan ia tinggalkan.
Tak lama lagi.

-000-

Sore itu, Rama mengumpulkan istri dan dua anaknya.

Lima belas tahun lalu,
tahun 2006, ketika Rama menyerbu komunitas Ahmadiyah di ketapang,
usia Akbar masih 10 tahun.
Usia Rahmi masih 8 tahun.

Kini tahun 2021,
tak terasa dua anaknya tumbuh dewasa.

Setelah cerita soal kondisi kesehatan,
setelah satu keluarga saling peluk dan menangis sedih,
Rama menyampaikan pesan.

“Bapak ingin tinggalkan dunia ini tanpa beban.
Insha Allah, tak ada hutang materi bapak.”

“Tapi ada satu yang mengganjal.”
Belum sempat selesaikan kalimat, Rama menangis.
Terguncang- guncang badannya.”

Ainun istrinya memeluk Rama, tanpa suara, ikut menangis.
Akbar dan Rahmi menetes air mata. Menatap dari tempat duduk saja.

“Bapak ingin,” sambung Rama, “ibu, Akbar dan Rahmi mewakili Bapak.
Semua datang ke tempat pengungsian Ahmadiyah,
di Transito, Mataram.”

“Uang Bapak tak banyak.
Berikan tabungan Bapak ini,
Dua puluh juta rupiah.
Sampaikan kepada RT di sana.
Gunakan uang ini untuk tambahan.
Untuk sekolah anak- anak Ahmadiyah di sana.”

“Jangan lupa, sampaikan juga, mohon maaf Bapak sebesar- besarnya.”

Ainun, Akbar dan Rahmi saling pandang.
Betapa sudah berubah Bapak mereka.

-000-

Ainun, Akbar dan Rahmi berkunjung ke Transito.
Mereka bersilahturahmi.
Berjumpa komunitas Ahmadiyah di pengungsian.

Ainun, Akbar dan Rahmi mendengar banyak cerita.

“Saat awal pindah ke sini, tahun 2006, fasilitas pengungsi seadanya.”

Yang lain menimpali:
“Setiap keluarga diberi sepetak ruangan.
Sekat ruangan itu  spanduk bekas pemilu.
Ada gambar PDIP.
Ada gambar Golkar.
PKB.” (2)

Mereka tertawa.
Seolah tak ada kesedihan di sana.

“Rata-rata luas ruangan satu keluarga adalah 8×4 meter. “

“Tahun 2013, ada kemajuan.
Sekat ruangan dari spanduk partai berganti kain.”

“Tahun 2015, ada kemajuan lagi. Dari kain berubah tripleks sebagai pembatas ruang.”

“Sekarang kami sudah tidur di kasur. Dulu alas tidur kami dari kardus. Awalnya badan sakit-sakit. Lama-lama terbiasa.”

“Dulu, 800 orang Ahmadiyah tinggal di sini. Sekarang tinggal  120 orang jemaat Ahmadiyah  saja.”

Akbar bertanya: “Apakah ada bantuan pemerintah?”

Ibu di sana menjawab. “Oh, ada. Bantuan pemerintah sesekali  saja datang. Itu lebih untuk lansia, penduduk usia lanjut.”

Rahmi bertanya: “pekerjaan apa yang dilakukan untuk nafkah keluarga?”

Bapak itu menjawab:
“Kami para pengungsi bekerja serabutan.
Saya sebagai sopir ojek online.
Tetangga ada yang dagang di pasar.”

Ibu itu menjelaskan lagi: “kami tak tahu sampai kapan tinggal di pengungsian.  Kami buat diri senyamannya. Kami ubah fasilitas di sini sebisanya.”

“ Tahun ini ke-15 kali kami akan berlebaran di sini, di pengungsian.”

Ainun bertanya: “Tak Ingin kembali ke Ketapang, ke kampung halaman?”

Bapak itu menjawab dengan suara keras dan getir. “Itu yang kami mau. Tanah kami ada di sana. Sawah kami ada di sana.”

“Walau rumah kami dibakar, rata dengan tanah, tapi itu tanah kami. Itu saya dapat dari warisan keluarga. Bapak ini malah membeli sendiri tanahnya. Ada sertifikat hak milik.”

“Satu jemaat Ahmadiyah mencoba pulang ke sana. Ingin tinggal kembali di sana. Ada juga yang hanya ingin berternak saja.”

“Baru bediri tembok saja, eehhhh, sudah kena tegur.
Ada yang baru bawa ternak, tapi ditakut- takuti.
Akan diserbu lagi.”

“Mulanya tinggal di pengungsian merana sekali.
Banyak  yang depresi berat.
Hampir gila.”

Ainun pun menyampaikan pesan suaminya.

“Mohon diterima.
Ini sumbangan dana dari suami saya.
Suami mohon maaf atas segala perbuatan.
Sungguh saya malu hati datang ke sini.”

“Tapi ini amanah dari suami.
Ia sedang sakit keras.
Ia merasa waktunya tak lagi lama. Suami tak ingin menghadap Tuhan dengan beban”

Ainun menangis.
Bapak, Ibu dan ketua RT terdiam. Terharu.

Mereka menerima amanah.
Walau dari orang yang dulu mengusir mereka.
Ini amanah dari hati.
Dari orang yang akan menjemput kematian.

-000-

Lebaran pun datang.
Takbir menggema di langit kota Mataram.
Getaran yang suci menyebar, dibawa angin, menyelinap lewat jendela dan pintu rumah.

Rama kini duduk di kursi roda.
Sore hari, ia minta diantarkan keluarga.
Rama ingin berkunjung ke Transito.

Di sana, penghayat Ahmadiyah merayakan lebaran kelima-belas kali di pengungsian.

Rama ingin meminta maaf sekali lagi, atas kekerasan yang pernah ia lakukan.
Keyakinan agama Rama tak berubah.
Tapi suasana kematian menyadarkannya.

Ia harus lemah lembut menegakkan agama.
Rama katakan pada diri sendiri:

“Tak boleh ada paksaan.
Tak boleh ada kekerasan.
Tak boleh main hakim sendiri.
Kini semua kesalahanku harus kutebus. Sebelum kematian datang.”

Malam hari masih di hari lebaran.
Di pekarangan rumah.
Rama minta keluarga menurunkan kayu pentungan itu.
Yang dulu ia banggakan.

Kayu pentungan kini tergeletak di rumput.
Rama menyiramnya dengan minyak tanah.
“Byaaar! Pentungan itu pun dibakar oleh Rama.

Ainun, Akbar dan Rahmi diam saja. Membiarkan Rama lakukan apa saja.

Tengah malam, Rama kembali bermimpi.
Tentang dunia gaib itu.
Tentang besar, panjang dan gelapnya terowongan itu.
Tentang dirinya yang ada di sana.
Tentang cahaya itu.
Oh betapa heningnya. Sejuknya. Damainya.

Namun ada yang berbeda.
Rama tak lagi terbangun dari mimpi itu.
Rama tetap tidur.
Tidur untuk selama-lamanya.*

CATATAN

1. Berbagai wilayah Ahmadiyah di NTB diserbu dan diserang
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44187364.amp

2. Sudah 15 kali  pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram, merayakan lebaran di sana.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210513034534-20-642069/rindu-jemaat-ahmadiyah-15-kali-lebaran-di-pengungsian/amp

-000-

Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012)