PENGANTAR
Pada bulan puasa tahun lalu, setiap hari saya menulis seri human insterest. Kali ini saya menulis seri Sekitar Serba-Serbi Sholat Subuh (S5). Isi tulisan tidak membahas tata cara sholat subuh, apalagi menganalisis makna surat-surat yang sering dibaca pada sholat subuh, atau mendedah diskusi ikhwal subtansi atau filosofis dari sholat subuh dari tinjauan teologis.
Itu kompetensi para ulama, ahli agama, atau tokoh masyarakat. Bukan kompetensi hamba ini. Saya hanya menulis “sketsa” serba-serbi yang terjadi di seputar sholat subuh. Semacam reportase alit. Itu pun terbatas yang saya alami dan atau tahu saja.
Dan Ramadhan tahun 2023 ini, tulisan bersambung Wina Armada ini, insya Allah akan terbit setiap hari di Majalah Siber Indonesia, J5NEWSROOM.COM.
Semoga bermanfaat.
RUMAH kediaman saya terletak cuma “selangkahan” dari mesjid Al Husnah. Sebagai umat muslim, hampir setiap hari saya sholat subuh di mesjid tersebut. Tentu, ini saya lakukan lantaran semata-mata dan yang utama karena perintah Allah.
Namun hal ini juga karena yang memungkinkan saya lakukan di mesjid pada subuh hari. Pertama, pada subuh saya belum punya kegiatan apa pun. Kalau pun ada kegiatan, seperti lari pagi atau ada pertemuan di pagi hari, dapat dilakukan setelah sholat subuh.
Berbeda dengan sholat-sholat lain. Terus terang saja untuk sholat lainnya, saya jarang sholat di mesjid tersebut. Bukannya tak mau. Maklumlah pada waktu sholat selain subuh, saya mungkin lebih banyak berada di luar rumah, dan pulang sudah larut malam.
Dengan begitu, hampir tak ada ada waktu sholat lain di mesjid dekat rumah. Maka saya jarang sekali sholat di sana selain sholat subuh. Paling sekali-kali sholat Jumat, dan tentu sholat Idul Fitri, sholat Idhul Adha dan jika ada acara khusus.
Hampir setiap hari sholat subuh di mesjid yang sama, tanpa kita sadari membuat kita memiliki beberapa perilaku yang bagaikan terpola ketika melakukan sholat subuh. Salah satunya dalam memilih “lokasi” tempat kita menunggu sholat, dan pas waktu sholat.
Tentu “lokasi” itu yang menurut perasaan kita nyaman. Lantaran bertahun-tahun, bahkan belasan tahun, kita menempati posisi yang sama, sering kali, tanpa kita sadari, lantas kita merasa tempat sholat subuh tersebut menjadi semacam “kavling” milik kita. Begitu kita masuk mesjid, langkah kita otomatis mencari “kavling” tersebut.
Saya pribadi biasanya jika datang ke mesjid, untuk menunggu sholat subuh dan melakukan sholat dua rakat, mengambil posisi di shaf ketiga agak ke kanan dari arah masuk mesjid, di belakang imam dan depan mimbar.
Lantas ketika sholat segera bakal mulai, saya pindah ke shaf pertama, dua sisi kanan di belakang imam. Waktu imam selesai melafalkan, “Walad dhooolliiin….” Saya pun menyambut dengan mengeraskan suara menyebut “aaaaamiiiiin…”
Berbelas tahun terus menerus begitu, siapa pun imam dan muadzinnya, membuat saya merasa nyaman menempati “kavling” tersebut secara permanen.
Lebih dari itu, secara merambat saya juga merasa itulah “kavling” milik saya di mesjid ini. Di rumah Allah ini. Mungkin banyak, atau beberapa jemaah subuh lainnya merasa seperti saya.
Maka ketika ada jemaah lain, menempati “kavling” kita, baik yang sebelum sholat subuh maupun menjelang sholat subuh, secara tidak sadar dalam hati mulai terganggu. Mulai ada perasaan gak enak. “Lho tempat gue kok loe duduki?” Kira-kira begitulah. Muncul semacam perasan tidak suka. Kita tak mau “kavling” kita diduduki orang lain!
“Kavling” itu harus dalam penguasaan kita. Jemaah lain silahkan cari tempat yang berbeda. Toh, masih banyak tempat lainnya. Kita menjadi tak rela tempat kita “take over” orang lain.
Di sinilah mulai bersemayam bahaya dalam diri kita. Menempati posisi yang sama saat sholat subuh si mesjid selama belasan tahun seakan memberikan hak kepada diri pribadi untuk mengklaim tempat di mesjid itu menjadi “kavling” milik kita pribadi. Seakan tempat itu privillage kita. Perasaan seperi itu pula yang sempat tanpa saya sadari juga hadir dalam diri saya.
Beruntung itu tak berlangsung lama, dan saya dapat tersadar atas kekhilafan itu. Mesjid milik Allah. Rumah Allah. Bukan mesjid pribadi kita. Kalau pun ada mesjid yang kita bangun secara pribadi, maka ketika telah dibuka untuk umum, mesjid telah berubah menjadi mesji publik. Mesjid jami.
Menjadi rumah Allah. Semua orang berhak datang ke mesjid. Semua orang, memiliki hak untuk sholat di mesjid itu. Semua orang punya hak sama untuk memilih dan menentukan mereka mau duduk atau sholat di bagian manapun sepanjang datang lebih dahulundan tempat itu masih kosong.
Sebaliknya, kita tidak punya hak untuk mengklaim ada bagian-bagian tertentu dari tempat sholat di mesjid hanya diperuntukan buat kita, dan orang lain sepatutnya menghormati hak kita. Tak patut kita menuntut jemaah lain agar tidak melanggar “hak kavling” kita. Semua orang di hadapan Allah sama.
Semua diperbolehkan memilih menempatkan diri, dan sholat di bagian manapun dia mau dan memungkinkan. Kita sama sekali tidak punya hak untuk mengaturnya. Tentu ada pengecuakian, jika ada acara-acara tertentu, bolehlah ditata susunan tempat duduk, tapi bukan yang permanen.
Saya teringat kepada sebuah mesjid yang berada masih di seputaran tempat tinggal kami. Beberapa orang bercerita, mereka sempat sholat di mesjid itu. Namun apa yang terjadi? Para jemaah tetap di mesjid tersebut memperlihatkan wajah-wajah tidak bersahabat ketika ada orang lain atau “orang baru “ sholat di situ. Wajah-wajah yang jelas menunjukan mereka tak berkenan ada orang lain sholat “di mesjid mereka,” selain kalangan mereka sendiri.
Tak hanya itu, setelah “orang baru” atau “tamu” selesai sholat di sana, tempat yang dipakai sholat tersebut langsung dibersihkan dan dipel sebanyak tujuh kali. Tamu yang sholat di situ pun masih melihat tempat bekasnya sholat harus dipel sampai tujuh kali.
Seakan-akan yang barusan sholat di situ najis dan haram, sehingga tidak boleh sholat di sana. Kalau pun sudah sholat, tempatnya harus dibersihkan sebersih-sebersihnya, antara lain harus dipel sampai tujuh kali.
Rupanya pengurus dan jemaah mesjid itu memang punya faham, mesjid itu khusus untuk kaum pengikutnya saja. Setiap sisi tempat sholat disana memang sudah “dikavling” buat anggota jemaah sendiri. Dari tempat itulah mereka beranggapan jalan menuju surga. Makanya, orang lain tak boleh sholat di mesjid itu. Selain jemaah mereka sendiri, tak boleh ada yang menduduki “kavling” yang sudah terbentuk untuk para jemaahnya.
Akhamdullilah, saya cepat sadar. Perasaan bahwa tempat yang biasa kita duduki di mesjid, bukanlah ekslusif milik kita pribadii. Bukan kavling private. Tempat itu milik Allah. Tempat itu bebas dipakai oleh siapa saja.
Kini saya masih sering tetap sholat di bagian yang menjadi favorit saya. Bedanya, jika ada orang lain yang kemudian lebih dahulu menempati lokasi di bagian itu, siapa pun dia orangnya, saya rela. Saya iklas seiklas-iklasnya.
Semua “kavling” di mesjid kepunyaan Allah. Bukan punya kita, siapa pun kita. Di rumah Allah kita harus tulus berbagi “kavling” dengan sesama jemaah lain, setiap saat. Siapa datang lebih dahulu, jemaah itu punya hak memilih lebih dahuku di mana pun dia mau duduk dan sholat, selama masih kosong, termasuk di tempat favorit kita.
Tabik!
(Bersambung)
Penulis adalah wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase pribadi yang tidak mewakili organisasi.