SIAPAKAH orang Kristen yang ikut salat Idul Fitri di pesantren Al-Zaytun Indramayu itu?
“Lho itu kan teman Anda…,” jawab Syech Panji Gumilang, pimpinan tertinggi pesantren modern itu.
Saya memang minta tolong wartawan di Indramayu untuk bertemu Syech Panji.
Ia wartawan Radar Indramayu. Namanya: Adun Sastra. Alumni Unwir: Universitas Wiralodra Indramayu. Wiralodra adalah bupati pertama Indramayu, sebelum kakek Anda lahir.
Lewat HP wartawan Adun, Syech Panji minta bicara dengan saya. Maka langsung saja saya tanya soal siapa orang Kristen itu. Yang ketika salat Idul Fitri ia duduk di kursi di saf paling depan.
“Jadi, saya kenal orang itu?” tanya saya.
“Ya kenallah…. Ia juga wartawan,” ujar Syech Panji.
“Wartawan Indramayu?” tanya saya lagi.
“Wartawan Jakarta. Saya kenal baik. Sejak lama sekali,” jawabnya.
“Siapa ya namanya?” tanya saya penasaran.
“Robin Simanullang…,” jawabnya.
“Oh…Ch Robin Simanullah”.
Menjelang Idul Fitri kemarin Syech Panji memang menghubungi wartawan itu. Robin ditawari apakah mau berlebaran di Al-Zaytun. Agar terjadi saling pemahaman yang baik antar umat beragama.
Syech Panji memang selalu membawa prinsip toleransi dalam beragama. Tidak ada maksud lain. Maka ributlah media sosial. Berhari-hari. Berminggu.
Apalagi ada pula jamaah wanita yang dalam salat itu berdiri di saf depan. Itu dianggap menyeleweng dari praktik keagamaan. Kok wanita tidak berdiri di belakang laki-laki. Siapa wanita tersebut? Itu tak lain adalah istri Syech Panji sendiri.
Menurut Panji Gumilang, jemaah perempuan yang ada di shaf depan saat salat Idul Fitri adalah perempuan yang dia muliakan. Saya pun ngobrol panjang dengan Syech Panji. Lewat telepon genggam.
Ternyata Syech Panji itu orang Madura, hanya saja lahir di Gresik. Tepatnya di desa Dukun, Kecamatan Sidayu. Leluhurnya yang dari Sampang.
“Waktu saya lahir, Dukun itu masuk Kabupaten Surabaya. Gresik itu masih kecamatan,” kenangnya.
Ayah Syech Panji adalah kepala desa di Dukun. Begitu tamat sekolah rakyat (SD), ayahnya minta Panji melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren Peterongan, Jombang.
Ia pun diajak ke sana. Kebetulan pamannya di pondok Peterongan, sebelah timur Jombang. “Sama-sama di pondok saya akan pilih di Maskumambang saja. Sama saja. Lebih dekat rumah,” katanya mengingat waktu kecil.
Lalu Panji diajak pula melihat pondok di Kaliwungu, sebelah barat Semarang. Ada paman yang lain di pondok Kaliwungu. Akhirnya Panji memilih sekolah di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Yakni pondok yang siswanya harus bisa bahasa Arab dan bahasa Inggris –yang masih langka di zaman itu.
Santri pondok Gontor juga campur antara yang NU dan Muhammadiyah.
Dari Gontor, Panji meneruskan kuliah di IAIN Syarief Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Ia mengambil jurusan sulit: Adab. Yakni sastra Arab dan Islam. IAIN Ciputat saat itu diakui yang paling maju kajian Islamnya.
Tokoh-tokoh pemikir Islam lahir dari sana. Termasuk pembaharu pemikiran Islam, Dr Nurcholish Madjid. Di Ciputat Panji menjadi aktivis mahasiswa. Ia masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia pernah menjadi pengurus cabang Ciputat di saat Nurcholish Madjid menjadi ketua umum PB HMI.
“Saya ikut menyuarakan agar Cak Nur dipilih kembali untuk periode kedua,” ujar Panji. Yakni ketika HMI mengadakan muktamar di Malang.
Setamat IAIN, Panji menjadi pengajar di Matla’ul Anwar. Yakni pesantren yang dekat dengan Golkar.
Zaman itu ada sayap pendidikan Islam di Golkar. Namanya GUPPI –Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam. Banyak sekali pesantren yang masuk GUPPI, termasuk jaringan pesantren keluarga saya di Magetan. Saya masih kelas 3 Aliyah saat itu. Sering diajak apel pemenangan Golkar.
Pesantren Peterongan dengan KH Musta’in Romli juga masuk GUPPI. Demikian juga pesantrennya KH Thohir Wijaya Blitar.
Banyak sekali bantuan Golkar yang diberikan ke pesantren-pesantren grup GUPPI. Guru-gurunya diangkat jadi pegawai negeri. Madrasahnya dibangun. Fasilitasnya dilengkapi.
Itu menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan politik yang luar biasa. Madrasah yang ‘masuk Golkar’ dianggap kurang berjuang untuk Islam. Kecurigaan itu sangat tinggi karena mayoritas pondok pesantren kala itu memihak ke PPP.
Kecurigaan kepada Al-Zaytun lebih-lebih lagi. Pesantren ini selalu dikaitkan dengan Negara Islam Indonesia (NII)-nya Kartosuwiryo. Yakni pemberontakan Islam di Jawa Barat tahun 1950-an. “Persoalan NII sudah selesai tahun 1962,” ujar Panji Gumilang suatu saat.
Saya pun salah sangka. Saya kira Syech Panji Gumilang itu orang Sunda. Saking seringnya dikaitkan dengan gerakan Islam di Jabar itu.
Penyebab salah sangka lainnya: saya pikir Panji Gumilang itu nama Sunda. Seperti, misalnya, Adun Sastra. “Anda ini bagaimana,” ujar Syech Panji lantas tertawa. “Nama gubernur Jatim yang legendaris yang tokoh Madura itu kan Raden Panji Muhammad Noer,” tambahnya.
Soal NII itu memang selalu muncul kembali setiap menjelang Pemilu. Di zaman Orde Baru. Seperti soal PKI di zaman ini.
Banyak tokoh Islam, pun kelas kecamatan, yang orientasi ideologinya NII ditangkapi. Banyak orang Islam takut. Golkar pun selalu menang mutlak.
Yang paling dramatis adalah munculnya Komando Jihad yang dipimpin Haji Ismail Pranoto. Ia ditangkap. Ketika diadili di Surabaya, Hispran, nama panggilannya, mengaku polos: sehari-sehari ia berkantor di Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Ruang kerjanya di sebelah ruang kerja Kepala Bakin Ali Murtopo.
Tidak hanya itu. Syech Panji juga sering diisukan sebagai berpaham Wahabi. Ia tertawa-tawa disinggung soal itu. “Berarti saya ini Wahabi yang rajin ziarah ke makam,” guraunya.
Hampir tiap bulan Syech Panji ke makam ayah-ibunya di Dukun. “Saya kan tidak bisa lagi mengabdi ke orang tua. Yang bisa saya lakukan adalah mendoakan,” katanya.
Bahkan keluarga besarnya di Dukun, yang selama ini tidak mau ziarah ke makam, kini ikut dirinya ke makam. Maka Idul Fitri tahun ini hebohnya dua kali. Heboh hari Lebarannya dan heboh salat di Al-Zaytun yang ramai itu.
Kenapa baru tahun ini salatnya berjarak? Kenapa tidak sejak dulu-dulu?
“Dulu masjid kami masih kecil. Hanya 30 x 30 meter,” katanya.
“Sekarang masjid kami besar, 100 x 100 meter. Enam lantai,” tambahnya.
Berarti luas bangunan masjid baru itu 1 hektare. Kalau enam lantai berarti 6 hektare. Itu digunakan untuk pembelajaran anak didik.
Baik soal wanita, soal jaga jarak dan soal non-Muslim ikut masuk masjid Syech Panji punya dalil yang ia pegang.
“Ternyata hukum wanita di barisan depan itu hanya makruh ya…?” kata saya.
“Saya tidak mau mengatakan makruh, haram, sunnah, atau mubah,” katanya.
Ia berpegang pada ayat Quran yang menegaskan kesamaan derajat laki-laki beriman dan wanita beriman.
Bahkan untuk perlunya salat berjarak yang lapang itu Syech Panji lebih telak lagi.
“Jangan sampai salat kita terganggu karena jarak yang mepet. Misalnya ternyata sebelah kita baru makan petai atau lainnya,” katanya di suatu forum.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia