Oleh Dahlan Iskan
HARUSNY Alvin Lim terbang ke Surabaya. Kemarin siang. Acara Alvin Senin pagi hari ini: membuka kantor cabang LQ Lawfirm miliknya di Surabaya. Kantornya di Pakuwon Tower.
Maka kemarin pagi Phio, istrinya, membangunkan Alvin. “Jadi ke Surabaya nggak?” tanya Phio. “Jadi,” jawab Alvin.
Pengacara top dengan gaya bicara yang amat keras itu berusaha bangun. Mencoba berdiri. Ia sempoyongan.
“Tidur dulu saja lagi. Bagaimana bisa berangkat. Sempoyongan begini,” ujar Phio seperti yang dia tirukan untuk pembaca Disway.
Phio pun ikut tertidur lagi. Dia nyaris tidak tidur malam sebelumnya: jagain suami. Alvin lagi drop. Dalam tidurnyi itu Phio bermimpi diteriaki Alvin. Dia pun terbangun. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang.
Phio ingat harus membangunkan Alvin untuk berangkat ke Surabaya. Maka dengan tergopoh dia membangunkan suami. Dia lihat suami masih tidur, tapi tumben, posisi tidurnya tengkurap.
Phio pun menepuk-nepuk pundak suami. Tidak ada respons. Dia langsung membalikkan kepala suami: wajahnya sudah biru. Tidak ada nafas.
Di seberang rumah Alvin di Tangerang ada rumah sakit: Mayapada. Dibawalah Alvin ke sana. Pemeriksaan dilakukan: Alvin Lim sudah meninggal dunia.
Jenazah Alvin akan disemayamkan di Grand Heaven, Jakarta Utara. Di kamar mayat rumah sakit itu Phio ditemani Kate Victoria Lim, anak tunggal Alvin dari istri terdahulu.
Kate-lah yang membuat Alvin berubah total. Dari seorang eksekutif bank di Amerika menjadi seorang pengacara yang paling berani melawan polisi dan jaksa. Tidak hanya di persidangan lebih-lebih di medsos.
Waktu Kate masih kecil, baru berumur satu tahun, Alvin mengambil anak itu dari rumah mantan istrinya. Alvin sangat cinta anaknya. Ia menilai mantan istrinya tidak akan bisa mengasuh Kate dengan lebih baik.
Peristiwa itu mengubah jalan hidup Alvin. Ia ditangkap polisi. Tuduhannya: melakukan penculikan anak kecil. Alvin dihukum enam bulan penjara.
Keluar dari penjara Alvin, lulusan universitas di Berkeley di Amerika jurusan finance, memutuskan untuk kuliah lagi di Tangerang. Kuliah hukum. Di Universitas Gunung Jati, Tangerang.
Alvin pun jadi pengacara. Ia mendirikan LQ Law Firm — huruf L di situ diambil dari nama Lim. Ia serang habis polisi dan jaksa yang ia anggap korup, mudah disuap, dan tidak berlaku adil.
Alvin ditangkap polisi lagi. Kali itu dengan tuduhan membantu tersangka lain yang ”menggarong” perusahaan asuransi. Alvin dijatuhi hukuman empat tahun.
Saat hukuman itu dijatuhkan Alvin lagi berobat di luar negeri. Begitu pulang ia tidak dimasukkan penjara. Masa tahanannya habis. Alvin masih naik banding. Waktu divonis empat tahun tidak ada diktum segera masuk penjara.
Alvin sangat terkenal dengan pendapatnya bahwa hukum memihak yang punya uang dan punya kuasa. Karena itu Alvin menyerukan kepada orang kecil yang lagi mencari keadilan: gunakan medsos. Videokan. Viralkan. “No viral no justice” adalah mantranya yang sangat terkenal.
Kesehatannya terus menurun. Para jaksa marah padanya. Lebih 180 jaksa mengadukan Alvin ke kejaksaan. Lim jadi tersangka. Ia dijebloskan ke tahanan.
Saya beberapa kali bertemu Alvin. Di Jakarta. Di Surabaya. Kadang ia ditemani Phio dan Kate.
Kate telah jadi remaja yang sangat dewasa dan pemberani. Kate, kini kelas tiga SMA Katolik di Tangerang. Dia sering bikin video. Dia seperti bapaknyi: berani menantang Kapolri dan Jaksa Agung. Dia bela bapaknyi habis-habisan. Terutama saat sang ayah ditangkap jaksa dan dimasukkan tahanan. Padahal sang ayah sedang sakit.
Banyak yang mengira Alvin lagi bersandiwara dengan sakitnya. Padahal ia memang sakit: gagal ginjal. Alvin harus cuci darah. Belakangan sampai dua kali seminggu.
Saya pernah menganjurkan untuk transplantasi ginjal. Tapi Alvin pilih terus cuci darah. Sambil merawat ginjalnya itu Alvin tidak berhenti menyerang para penegak hukum. Ia menyatakan siap mati untuk itu.
Kemarin, pukul 12.00 Alvin meninggal dunia. Phio mengatakan suaminyi pernah berpesan: kalau tiba saatnya meninggal, jenazahnya agar dibakar.
Mungkin Kate akan meneruskan perjuangan papanyi. Dia sudah belajar banyak di bidang hukum. Sering ikut papanya saat bicara dengan para pengacara.
Kate sendiri pernah mengatakan kepada saya: akan kuliah hukum. Inginnya di UI tapi jauh. Mungkin pilih di UPH yang lebih dekat dari rumah papanyi.
Kate begitu terinspirasi papanya itu.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia