Oleh Muchid Albintani
BUAT apa menyesali yang sudah terjadi. Mereka itu spekulan. Pembisnis besar. Mereka pendukung eskatologi akhir zaman. Sekarang tergantung dari kemampuan dan analisis. Kemampuan siapa? Siapa pula yang menganalisis? Benar.
Kemampuan dan analisis itulah tolak ukur menyelamatkan bangsa sekaligus negeri ini. Penyelamatan dimulai dari rasa kepekaan terhadap sebuah bangsa. Kepekaan itu pula bagian penting dari mengingat-ulang ihwal perjuangan pahlawannya.
Suatu saat kemarin dulu itulah yang selalu dikatakannya. “Jangan menjadi pengkhianat. Pahlawan hari ini adalah mereka semua orang-orang yang peduli. Mereka saja para pengkhianat peduli untuk merusak negeri ini. Mengapa orang yang mendiami di negerinya, justru tidak peduli? Mengapa?”, berulang kali dikatakannya kepada Saya. Entah apa maksudnya, Saya tidak tahu.
Sudah berulang kali disampaikannya. Walaupun dalam diskusi tidak resmi. Peristiwa ini hanya pengulangan jadwal. Untuk menjaga kegagalan yang melibatkan lembaga pendidikan seperti universitas, dan lembaga penelitian.
Tujuannya agar menjadi lebih bergengsi. Untuk menjaga wibawa. Yang penting anggarannya tersedia. Tidak terbatas. Agar tidak kelihatan samarannya. Tentu saja di belakangnya ada Yayasan.
“Begitulah permainannya, agar jangan mengulangi kegagalan,” katanya kepada Saya lagi.
Sebelumnya tahun 2005 rencana tersebut digagalkan. Seorang perempuan paruh baya yang memimpin sebuah kementerian kesehatan berupa-usaha menolak. Semula banyak yang mempertanyakan penolakan tersebut, walaupun akhirnya mengakui dan mengikuti.
Biasalah pak turut alias taqlid buta. Apa kata mereka saja. Tidak pernah mempersoalkan siapa sebenarnya mereka. Siapa yang berada di belakang mereka. Mengapa ada anggaran yang tidak terbatas.
Untuk kedua kalinya pada 2009, rencana mereka gagal. Negara-negeri yang tergabung dalam sebuah united yang terdiri dari hampir 40 negera mempertanyakan. Sebenarnya terkesan kecurigaan. Dampaknya rencana tidak dilanjutkan. Jadi sudah dua kali gagal. Logisnya untuk yang ketiga mereka pasti tidak mau gagal lagi.
Entah mengapa sepuluh tahun kemudian, 2019 rencananya berhasil. Mereka rupanya sudah bertekad tidak mau gagal lagi. Istilah gagal meneh, gagal meneh, tidak ada di kamus mereka.
Itulah upayanya wajib ada kolaborasi antara yayasan, lembaga penting dunia, dan perguruan tinggi juga lembaga penelitian bergengsi. Buat perencanaan yang matang. Standar ilmiah akademis versi perguruan tinggi. Anggaran tentu saja sudah tak berbilang. Jumlah uang yang disediakan tak berseri.
Dari sinilah bermula cerita tentang Tuan Bing-Cod. Mulanya mereka tak percaya, Tuan Bing-Cod berubah. Tuan Bing-Cod bermetamarfosis yang mereka dan kelompoknya selalu menyebut mutasi. Tuan menjadi kambing. Setelah berubah pun masih terjadi perbedaan pandangan.
1