LAPORAN: Saibansah Dardani
J5NEWSROOM.COM, Batam – Para penyair, pelukis, pelajar, mahasiswa, wartawan, tokoh pemuda, politisi hingga pastor, berkumpul penuh rasa kekeluargaan bersama warga Baloi Kolam, Baloi, Lubukbaja, Batam, Sabtu (17/6/2023).
Lalu, lamat-lamat dari hamparan tanah kuburan ‘Taman Langgeng’ Sei Panas Batam, terdengar suara seorang perempuan membaca puisi. Meneriakkan kata-kata yang dirangkai. Kata-kata yang dulu pernah begitu ditakuti penguasa yang 32 tahun memerintah negeri ‘gemah ripah loh jinawi’ ini.
“Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Loh, ada apakah gerangan, kok sampai puisi ‘mengerikan’ itu terdengar lagi. Malam hari pula. Dekat kuburan lagi.
Kata-kata itu begitu nyaring terdengar dari pelantang yang meluncur dari sebuah mobil. Ya, mobil yang telah disulap menjadi pelantang besar. Lengkap dengan lampu disco yang menempel di speaker besar.
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
(Wiji Thukul, 1986)
Sungguh, tidak ada aksi demo di tengah pemukiman masyarakat yang sudah puluhan tahun masih dilabeli ‘rumah liar’ aliar ruli. Meskipun ketika J5NEWSROOM.COM sampai di Fasum RT 02, RW 16, Baloi Kolam, Baloi, Lubukbaja, Batam tampak para ‘pentolan’ aksi demo Kota Batam. Mereka berkumpul, ngopi, berbincang santai, menikmati puisi.
Mereka itu adalah para aktivis LSM Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak) Batam. Tidak sedang berdemo. Mereka sedang menggelar lomba baca puisi. Satu kegiatan yang sudah begitu jarang terdengar. Baca puisi.
Malam itu, LSM Gebrak menggelar lomba baca puisi yang diikuti 30 orang penyair, wartawan, ibu rumah tangga sampai siswa sekolah menengah pertama. Mereka tidak hanya berasal dari Batam saja, ada yang juga dari Tanjungpinang.
Mereka yang tampil malam itu merupakan hasil seleksi dari 62 peserta yang sebelumnya mendaftarkan diri pada panitia melalui video membaca puisi. Jurinya, terdiri dari penyair dan aktivis anti perdagangan orang. Yaitu, Samson Rambah Pasir, Romo R D Paschal, dan Indrawati Sugiantiningsih.
Mereka bertiga akhirnya sepakat memilih orang peserta terbaik sebagai juara. Yaitu, juara 1 diraih oleh Jefi Chandra, juara 2 Latisya Arwa Jossi, juara 3, Rizaldi Abdi Razak, dan juara harapan Nabila Putri Akhyar.
Dari penampilan pertama hingga akhir para peserta mampu memukau ratusan penonton yang hadir. Peserta dengan baik membawakan puisi-puisi karya WS Rendra, Widji Thukul, Toto Sudarto Bachtiar, Asep S. Sambodja, Sutardji Calzoum Bachri, atau Joko Pinurbo. Apalagi puisi-puisi yang dilombakan menyuarakan keadilan.
BACA JUGA: Guru Besar Unri Yusmar Yusuf Tegaskan Politik Identitas Itu Sangat Penting
“Puisi adalah kata-kata. Kata-kata yang jujur. Tidak ada yang bohong dalam puisi. Maka, ibu-ibu dan bapak-bapak kalau ingin dengar kejujuran, bacalah puisi. Karena puisi tidak pernah bohong,” ujar ‘pentolan’ LSM Gebrak yang kini dipercaya warga Kota Batam menjadi anggota DPRD Provinsi Kepri, Uba Ingan Sigalingging.
Uba juga menyampaikan terima kasih pada masyarakat Baloi Kolam, khususnya pada warga yang telah hadir pada malam tersebut. Juga berterima kasih pada tamu undangan yang telah hadir, termasuk tiga orang dewan juri yang telah mau berpartisipasi dalam acara tersebut.
“Saya senang bisa tampil baca puisi ‘Tanah Air Mata’ karya ayah Sutardji Calzoum Bachri di sini. Saya senang dengan puisi ini, sampai hafal,” ujar Nabila Putri Akhyar kepada J5NEWSROOM.COM.
Nabila tidak berburu juara dalam lomba puisi ini. Dari Tanjungpinang dia diantar anyahnya, Nizamul Akhyar. Khusus hanya untuk bisa ikut lomba membaca puisi. Karena sejak masih duduk di bangku awal sekolah dasar, putri sulung wartawan senior Tanjungpinang itu memang sudah jatuh cinta pada puisi.
Karena cintanya dengan puisi ‘Tanah Air Mata’ itu mengantarkannya menoreh berbagai prestasi, hingga bertemu langsung dengan penulisnya, Sutardji Calzoum Bachri.
Editor: Saibansah