Tentara Menulis

Dahlan Iskan saat memberi pelatihan menulis pada para perwira TNI AD. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA latihan menembak dan tentara latihan menulis.

Saya diberi Pangdam/Brawijaya Mayjen Farid Makruf 10 peluru. Tidak ada satu pun yang mengenai sasaran lingkarannya.

“Menulis itu mestinya tidak sulit. Yang sulit itu memulainya,” ujar seorang jenderal bintang dua Selasa kemarin.

Hari itu staf ahli Mabes TNI-AD mengadakan rapat koordinasi. Lebih 100 perwira hadir. Mulai kolonel sampai bintang tiga. Tempatnya di aula Mabes dekat Monas itu. Aula yang masih terlihat baru. Modern, nyaman dan bersih. Ketika memandang keluar terlihat pagarnya juga baru, dengan ornamen seni dinamis yang masa kini.

Salah satu acara rakor itu: belajar menulis. Saya yang diminta jadi pembicara. Moderatornya Brigjen J.O. Sembiring.

“Tentara itu dilatih menembak. Tidak dilatih menulis. Sebaliknya saya. Jadi, kalau tentara tidak bisa menulis itu normal. Tenang saja,” kata saya.

Bedanya, tidak ada perlunya bagi saya untuk terus berlatih menembak. Untuk apa. Tapi tentara perlu belajar menulis. Banyak sekali gunanya. Terutama bagi para jenderal yang sangat kaya pengalaman: bagaimana mengatasi tekanan mental bertugas di posisi kritis dan sulit. Juga kaya ilmu kepemimpinan.

Memimpin wartawan sulit, apalagi memimpin tentara.

“Tapi bagaimana cara memulai menulis? Kata apa yang pertama ditulis?”

Menulis memang berbeda dengan menembak. Menembak ada tutorialnya. Pelatih akan mengajari urutan gerakannya. Kecuali sudah sampai tahap mahir. Yakni kalau pelajaran menembak itu sudah sampai tahap ‘makrifat’: memadukan feeling, intuisi dan gerakan jari yang ada di pelatuk senjata: dor! Pasti kena.

Menulis tidak ada tutorialnya.

Lalu bagaimana? Tidak sulit.

Saya pun bertanya kepada peserta rakor. Tidak ada yang tidak bisa naik sepeda kan? “Tapi apakah ada yang pernah ikut seminar cara-cara naik sepeda?”

“Tidak ada,” jawab mereka.

“Ada yang pernah ikut kursus cara naik sepeda?”

“Tidak ada”.

Ya sudah. Yang penting semua masih ingat bagaimana awalnya, kok bisa naik sepeda. Pasti mencoba dan mencoba. Lalu jatuh. Coba lagi. Jatuh lagi. Coba lagi. Lalu bisa.

Begitulah menulis.

Harus dicoba. Jelek tidak apa-apa. Anggap saja itu lagi jatuh waktu latihan naik sepeda.

Maka saya teruskan dengan topik: lima musuh utama menulis. Mungkin Anda bisa tambahkan menjadi 10 atau 15.

Musuh pertama: terlalu banyak yang ingin ditulis. Semua hal mau dimasukkan dalam tulisan. Akhirnya tidak mulai-mulai. Tulisan pun jadi tidak fokus.

Musuh kedua: ingin menulis selengkap-lengkapnya. Akhirnya tulisan jadi ruwet.

Musuh ketiga: dikira ‘penting’ itu pasti menarik. Maka tulisan menjadi sangat berat dan kaku.

Musuh keempat: dikira ‘menarik’ itu penting. Hasilnya jadi tulisan tidak berbobot.

Musuh kelima: pidato pejabat yang panjang dan isinya tidak ada yang layak untuk dikutip sebagai bahan tulisan.

Saya tahu di antara peserta hari itu adalah staf yang pekerjaannya menyiapkan teks pidato pimpinan.

Maka soal pidato jadi topik bahasan yang menarik.

Saya heran masih banyak orang yang berpidato panjang. Tidak menarik pula. Padahal di zaman medsos ini semua orang ingin cepat-cepat. Tulisan panjang tidak dibaca. Video panjang tidak dilihat. Apalagi pidato panjang.

Orang sekarang ini hanya mau serba dua menit. Atau kurang. Video lebih dua menit saja malas menontonnya.

Maka, sekarang ini, antara yang berpidato dan yang mendengarkan jalan sendiri-sendiri. Yang berpidato terus berbicara, yang mendengarkan membuka HP. Sibuk dengan layar masing-masing.

Dulu, pidato yang panjang ditinggal ngobrol dengan yang duduk di sebelah. Sampai ada yang menegur: jangan berisik.

Kini tidak ada lagi suara berisik yang perlu ditegur. Mereka ngobrol secara diam-diam: dengan HP masing-masing.

Mereka tidak memperhatikan pidato tapi lebih terlihat sopan.

Saya usul: para penulis teks pidato menyadari kenyataan baru itu. Lalu bisa meyakinkan pimpinan: di zaman sekarang pidato panjang tidak ada yang mendengarkan.

Sisi baiknya: semakin banyak pejabat yang memulai pidato dengan komunikatif. Ada yang memulai dengan melontarkan celetukan yang jenaka. Yang mendengarkan senang.

Yang juga ditanyakan: bagaimana menulis angka-angka dalam teks pidato.

Ini dilema. Pidato sering dijadikan referensi. Tapi jarang yang menggunakan pidato oral sebagai referensi. Yang dijadikan referensi adalah teks pidato.

Maka mudah: di teks yang akan diucapkan jangan diberi angka rinci. Bisa salah baca. Yang mendengarkan juga tidak peduli dengan angka yang panjang.

Maka angka dalam pidato dibuat pembulatan saja. Lalu di bagian bawah teks itu disertakan data dan angka-angka yang rinci. Tidak usah dibaca. Bagi yang ingin menggunakan pidato itu sebagai referensi bisa ambil dari data yang disertakan.

Atau tidak usah ada pidato.

Untung tidak sedikit juga pidato panjang yang menarik. Tergantung yang berpidato dan cara berpidato.

Di kalangan pembaca Disway ini ada juga seorang wanita yang saya kenal. Dulu bekerja di bagian keuangan. Seumur hidupnya yang dilihat dan ditulis hanya angka-angka. Tidak pernah menulis kalimat. Apalagi panjang.

Tiba-tiba dia berkomentar soal satu topik di Disway. Isi komentarnya penting tapi tulisannya kurang baik. Dia tidak berani mengirim ke kolom komentar. Itu dia kirim langsung ke WA saya. Tentu tulisan itu saya puji: baik sekali.

Dia menulis lagi komentar yang lain. Saya puji lagi. Dan lagi. Seperti kecanduan. Saya perhatikan: kian ke belakang tulisannyi kian baik. Sekarang sudah sangat baik. Beneran.

Maka saya sarankan untuk mulai berani memasukkannya ke kolom komentar. Pak Mirza bisa kalah. Apalagi Leong Putu. Dia pun bisa jadi wanita Disway yang baru. Namanyi: Dwianti Handayani.

Dia bisa menulis baik setelah banyak kali menulis kurang baik.

Kalau saja semua jenderal atau kolonel menuliskan kekayaan pengalaman pribadinya betapa hebat literatur kita.

Tidak harus dipublikasikan. Setidaknya bisa dikirim ke Universitas Pertahanan. Bisa ada satu sudut di perpustakaan di sana khusus untuk buku mereka.

Penulis adalah wartawan senior Indonesia