Oleh Dahlan Iskan
SAHABAT Disway ini tidak jadi operasi prostat di Penang, Malaysia. Kanker prostatnya teratasi di tangan dokter Indonesia. Tanpa operasi pula: pakai suntik hormonal.
Umurnya 54 tahun. Gemuk, 105 kg. Olahraganya naik sepeda dan golf. Pekerjaannya: bisnis besar bidang logistik. Termasuk menangani logistik mancanegara.
Tahun lalu ia mengalami sulit kencing. Air buangan yang keluar hanya 105 ml. Bandingkan dengan kebiasaan Anda: sekitar 250 ml. Badannya pun kian gemuk. Lebih tepatnya bengkak. Air yang tidak bisa keluar bertahan di tubuh.
Kencingnya sedikit tapi sering. Sebentar-sebentar ingin kencing. Sampai suatu malam ia tidak bisa tidur. Tiap 1 jam ingin kencing. Tidak bisa ditahan.
Keesokan harinya ia ke dokter urologi. Diperiksa. Kalsiumnya tinggi: 75. Ia curiga: jangan-jangan kanker. Yakni kanker prostat. Itu musuh utama banyak laki-laki. Seperti kanker kandungan untuk wanita. Atau kanker payudara.
Lalu sahabat Disway itu periksa PSA. Tinggi: 54. Lalu melakukan MRI. Ketahuan: prostatnya membesar dan ada benda mencurigakan di situ.
Ia pun minta kepastian: apakah yang mencurigakan itu kanker. Ia minta dibiopsi. Jaringan di testisnya diambil sedikit. Lewat lubang dubur. Diperiksa. Benar: kanker. Stadium 3. Tidak ragu lagi: ia stres.
Pertanyaan berikutnya: apakah kankernya sudah menyebar. Maka ia melakukan pet scan. Hasilnya: kabar baik, kanker masih sebatas di prostat.
Ia pun memutuskan untuk operasi. Kian JK kian baik. Tinggal pilih: di Jakarta atau luar negeri. Ia tidak punya masalah dengan uang. Ini soal keyakinan: ia pilih ke Penang.
Persiapan pun dilakukan. Ia sudah melakukan konsultasi lewat zoom dengan dokter di sana. Yang membuat ia kurang sreg adalah: di Penang nanti ia akan melakukan pemeriksaan mulai dari nol lagi. Diminta begitu. Ia marah. Padahal ini sudah pasti kanker prostat. Harus cepat ditangani.
Besan sahabat Disway itu dokter urologi. Ia menyarankan untuk konsultasi dulu ke dokter lain di Jakarta yang lebih ahli. Yang pernah menjadi dokter kepresidenan: Prof Rainy Umbas. Sudah senior. Tidak tiap hari buka praktik. Itu pun sehari hanya mau menerima 10 pasien.
Prof Umbas-lah yang mencegahnya operasi. “Punya uang kan?” tanyanya seperti diingat sahabat Disway. “Suntik hormonal saja,” katanya. Ia marah kepada dokter yang menyarankan operasi.
Seberapa mahal?
“Sekitar 10-15 juta,” ujarnya. Sekali suntik. Sebulan sekali. Selama enam bulan. Lalu diteruskan dengan suntik ‘pemeliharaan’ tiap tiga bulan.
Hasilnya: setelah tiga bulan PSA-nya yang 54 menjadi tinggal 3,9. Lalu turun lagi tinggal 0,7. “Sekarang tinggal 0,005,” ujarnya.
Kemarin saya makan siang dengannya. Di dekat kantornya di Halim. Sekalian saya ingin melihat stasiun kereta cepat yang di Halim: di mana lokasi persisnya dan sudah seperti apa.
Di makan siang itu saya memesan karedok, kangkung polos, brokoli rebus, mantou kukus, dan daging lada hitam. Ia menambah gurami goreng kering. Saya menambah nasi. Ia membawa nasinya sendiri: nasi porang.
Ia memang lagi menghindari karbohidrat. Tidak makan nasi dan makanan berbahan tepung terigu. Ia juga menghindari gula. Badannya turun 15 kg selama 3 bulan. Sudah mulai main golf lagi. Minggu depan sudah akan ke Singapura: tanda tangan bisnis di sana.
Ketika ia tidak bisa tidur dulu air kencing dikeluarkan dari badan secara paksa. Kemaluannya dimasuki kateter. Langsung ke kandung kemih. Kencingnya lewat selang itu. Tiga bulan lamanya terus seperti itu. Tersiksa. Kalau duduk sakit. Tapi lebih sakit lagi pikirannya: ketika ditemukan ada kanker di prostatnya.
Kini semua sudah lewat. Saya begitu ingin tahu bagaimana bisa suntik hormonal mampu mengatasi kanker prostat.
Saya hubungi sahabat Disway yang lain: Ketua IDI Surabaya, Prof Dr Brahmana. Ia menyarankan saya ke ahlinya saja langsung: Dr.dr. Lukman Hakim. Ahli prostat di Surabaya. Urolog. S-1 dan S-2 nya di Unair.
Doktornya di Belgia: bio medik. Ia memang mendalami stemcell di sana. Terutama yang terkait dengan kanker prostat, saluran kencing dan ginjal.
Menurut dr Lukman, yang disuntikkan ke pasien kanker prostat itu adalah obat kategori LHRH agonist atau LHRH antagonist. Disuntikkan di lengan. Merek obatnya bisa macam-macam. Fungsinya: untuk menekan produksi testosteron.
Anda sudah tahu: yang memproduksi testosteron adalah testis. Dua telur yang Anda bawa ke mana-mana itu. Yang bentuknya bulat itu.
Menurut dr Lukman Hakim, ‘makanan’ kanker prostat adalah testosteron. Tidak persis seperti itu. Itu untuk memudahkan pengertian saja. Maka ketika testis tidak memproduksi testosteron lagi kanker prostat tidak punya makanan. Lalu mati.
Dokter Lukman tidak mau menggunakan istilah kankernya mati. Lebih tepatnya mengecil. Sampai batas yang dianggap aman bagi manusia. Yakni PSA di bawah 2. Kalau betul sahabat Disway tadi sudah di bawah 1, berarti sudah sangat normal.
“Tinggal menjaganya agar tidak naik lagi,” ujar dr Lukman. “Sebaiknya tiap tiga bulan periksa PSA. Agar kalau ada kecenderungan naik bisa lekas diketahui,” katanya.
Dokter Lukman Arek Suroboyo. Lulusan SMAN 5 yang prestisius. Istrinya dari Jakarta, seorang chef. Pinter masak dan pinter punya anak: 3 orang. Sang istri kini berbisnis masakan sehat, khusus untuk pasien prostat dan ginjal.
Lukman tentu setuju dengan Prof Umbas. Kanker stadium 3 tidak disarankan dioperasi. Kankernya sudah menempel ke prostat. Sangat beresiko: tidak bisa bersih atau ‘terlalu bersih’ yakni sampai mengenai syaraf prostat.
Zaman dulu, kata dr Lukman, cara menyembuhkan prostat adalah dengan membuang testisnya yang bulat itu. Dengan demikian laki-laki tidak punya lagi dua telur. Itu dianggap tidak manusiawi. Itu sama dengan dikebiri. Tidak ada lagi dokter yang melakukan itu.
Memang selama produksi testosteron dihentikan, burung tidak bisa terbang. Tapi ia tidak mati. Hanya tidur. Suatu saat akan bangun. Kalau tidak lupa.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia