Sosial Media Versus Anak Muda

Siswi MAN 1 Kota Batam, Naila Ahmad Farah Adiba. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Naila Ahmad Farah Adiba

HIDUP di zaman dengan teknologi yang super canggih seperti saat ini ibarat pisau bermata dua. Ia bisa menjadi sumber kebaikan dan pahala, namun juga tak menutup kemungkinan bisa menjadi sumber kebodohan dan perbuatan dosa. Sayangnya banyak yang terlena dan seolah tak mau ambil pusing dengan keadaannya.

Teknologi yang seharusnya bisa menjadi salah satu cara atau metode untuk menambah wawasan, malah dijadikan sebagai sumber kemaksiatan. Contohnya apa aja? Sebenarnya banyak banget hal-hal unfaedah yang saat ini dilakukan.

Tak hanya orang tua yang mungkin sudah tidak ada lagi tanggungan. Bahkan anak muda yang seharusnya menjadi orang yang berguna bagi agama malah menjatuhkan dirinya kepada perbuatan yang sama sekali tidak menimbulkan manfaat dan maslahat.

Banyaknya pemuda yang terjerat dengan kasus pornografi dan pornoaksi, kemudian juga terjerat dengan situs judi dan pinjaman online, bahkan terjerumus hingga ke dalam jurang prostitusi yang kini sudah dinormalisasi. Miris banget kan?

Belum lagi peringkat untuk tingkat literasi di Indonesia ini tergolong rendah. Padahal di dalam Islam, aktivitas membaca itu sangat dimuliakan. Mengapa? Karena dengan membaca, pengetahuan dan wawasan kita akan terus bertambah. Ketika pengetahuan kita telah bertambah, maka kita tidak akan mudah untuk dibodohi.

Coba deh kita lihat kembali, banyaknya problematika yang disebabkan oleh anak muda ini sebenarnya karena ia tidak memegang kunci utama dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Sehingga ketika terkena sedikit gelombang maupun ombak, ia akan dengan mudah terhempas dari kapal tersebut.

Nah, hal utama yang menjadi penyebab semakin marak permalasahan yang kini terjadi adalah karena anak muda sekarang mengalami krisis identitas. Ia melupakan jati dirinya sebagai seorang muslim. Sehingga ia tidak malu bahkan bangga ketika berbuat sesuatu yang Allah tidak suka.

Ketika ia telah krisis dengan identitasnya sendiri, maka ia akan anti bahkan takut untuk mempelajari agama yang dianutnya. Sehingga ketika para pemuda telah enggan untuk belajar Islam, maka virus sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan itu telah berhasil menancap dalam diri sang pemuda.

Ketika ia malas untuk mempelajari agamanya sendiri dan menganggap bahwa agama adalah candu, maka sejak saat itulah keinginan ia untuk membaca sebagai salah satu usaha meningkatkan taraf berpikirnya akan merendah perlahan dan pada akhirnya menghilang.

Ketika minat membaca alias literasi itu menurun, maka pemuda muslim akan menjadi pemuda yang jumud alias tidak mengetahui arah tujuan hidup yang sebenarnya. Padahal, membaca adalah suatu aktivitas pertama yang Allah perintahkan kepada Rasulullah Saw melalui malaikat Jibril di dalam gua hira.

Saking istimewanya aktivitas yang satu ini, kita sebagai seorang muslim seharusnya tidak malas untuk mulai membaca. Apalagi dengan adanya sosial media dan teknologi yang sangat canggih seperti saat ini, seharusnya semakin menjadikan kita rajin untuk membaca sebuah buku maupun informasi di dalam internet.

Karena, untuk menyelesaikan segala problematika yang telah terjadi saat ini, kita butuh sebuah pemikiran yang mampu membangkitkan. Nah, caranya adalah dengan membaca. Oleh karenanya, jika sosial media dan teknologi ibarat pisau bermata dua yang bisa menimbulkan pahala dan juga dosa, maka gunakanlah hal tersebut untuk sebuah kebaikan.

Tidak ada cara lain, jika kita ingin menyelesaikan segala permasalahan baik tingkat lokal maupun internasional, maka upaya pertama yang harus kita lakukan adalah membangkitkan taraf berpikir masyarakat dengan cara membaca. So, mulai sekarang, jangan malas untuk membaca ya!*

Wallahu a’lam bish showwab.

Penulis adalah siswi MAN 1 Kota Batam