Produk Tekstil Indonesia Dihantam Tarif Tinggi AS, Capai 47 Persen

Ilustrasi Produk Tekstil. (Foto: Ist)

J5NEWSROOM.COM, Produk-produk ekspor unggulan asal Indonesia, terutama dari sektor tekstil dan garmen, kini tengah menghadapi tantangan berat akibat lonjakan tarif bea masuk yang diberlakukan Amerika Serikat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa sejak awal April 2025, AS resmi menambahkan tarif sebesar 10 persen terhadap sejumlah komoditas asal Indonesia, menjadikan total bea masuk untuk produk seperti tekstil, alas kaki, garmen, furnitur, hingga udang melonjak hingga 47 persen. Padahal, sebelumnya tarif untuk produk-produk tersebut berkisar antara 10 hingga 37 persen.

Situasi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang dikenakan bea masuk lebih tinggi dibandingkan negara-negara pesaingnya di kawasan Asia, baik dari dalam ASEAN maupun luar. Hal tersebut disampaikan Airlangga dalam konferensi pers daring dari Washington DC, tempat ia saat ini sedang melakukan rangkaian diplomasi ekonomi bersama delegasi Indonesia. Dalam upaya menegosiasikan ulang kebijakan tarif yang dinilai memberatkan ini, Airlangga didampingi Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu.

Pemerintah Indonesia, menurut Airlangga, memandang serius lonjakan tarif ini karena memberikan dampak langsung terhadap biaya ekspor yang menjadi semakin tinggi. Situasi ini memicu kekhawatiran dari para pelaku usaha karena pembeli dari AS meminta agar biaya tambahan akibat tarif tidak sepenuhnya ditanggung oleh mereka, tetapi dibagi bersama dengan eksportir Indonesia. Ini tentu menekan margin keuntungan dan berpotensi menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global, khususnya di Amerika.

Dalam pertemuan bilateral yang digelar dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, kedua pihak sepakat untuk menuntaskan negosiasi dalam waktu 60 hari. Pemerintah Indonesia mengajukan berbagai opsi agar tarif dapat dikaji ulang dan diturunkan. Di antaranya adalah peningkatan pembelian energi dari AS, termasuk liquefied natural gas (LNG) dan sweet crude oil, serta peningkatan impor produk agrikultur seperti gandum.

Tak hanya itu, pemerintah juga menawarkan peluang fasilitasi investasi bagi perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia, kerja sama penguatan rantai pasok dan pemanfaatan mineral strategis, serta kolaborasi lintas sektor mulai dari pendidikan, teknologi, ekonomi digital, hingga layanan keuangan. Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan dagang yang lebih seimbang dan adil, sekaligus membuka ruang kerja sama strategis yang menguntungkan kedua negara secara jangka panjang.

Kenaikan tarif ini menambah beban bagi sektor industri padat karya di Indonesia, yang selama ini bergantung pada ekspor ke pasar AS. Oleh karena itu, keberhasilan negosiasi yang sedang berlangsung ini akan menjadi penentu penting bagi keberlanjutan ekspor dan ketahanan sektor industri nasional di tengah tekanan ekonomi global yang semakin kompleks.

Editor: Agung